Mengurai Simpul Tegang Relasi China dan Jepang: Dari Sejarah Masa Lalu ke Rivalitas Masa Depan
Hubungan bilateral antara China dan Jepang, dua kekuatan ekonomi terbesar di Asia, kembali memasuki fase yang ditandai oleh ketegangan diplomatik dan militer. Alih-alih meredup, perselisihan yang berakar pada warisan sejarah masa lalu kini diperburuk oleh rivalitas geopolitik dan sengketa maritim di perairan vital Asia Timur. Situasi ini bukan hanya memengaruhi stabilitas regional, tetapi juga menjadi barometer penting bagi arsitektur keamanan global.
Peningkatan frekuensi insiden maritim di sekitar Kepulauan Senkaku/Diaoyu, ditambah dengan perbedaan pandangan mengenai penanganan isu-isu regional, telah menciptakan lingkaran setan saling curiga. Meskipun kedua negara memiliki ketergantungan ekonomi yang erat—Jepang adalah salah satu investor asing utama di China, dan China merupakan pasar ekspor masif bagi Jepang—faktor-faktor non-ekonomi terus mendominasi agenda politik luar negeri mereka.
Warisan Sejarah yang Tak Kunjung Usai
Titik pangkal utama ketegangan ini adalah warisan Perang Dunia II. Bagi Beijing, permintaan maaf Jepang terhadap agresi masa lalu dianggap belum tulus dan final. Kunjungan pejabat tinggi Jepang ke Kuil Yasukuni, yang dianggap China dan Korea sebagai simbol militerisme masa lalu, secara rutin memicu kecaman keras dan merusak upaya normalisasi hubungan diplomatik.
Narratif sejarah ini terus digunakan sebagai alat politik oleh kedua belah pihak. Bagi China, penekanan pada kejahatan perang Jepang membenarkan sikapnya yang waspada dan memperkuat legitimasi peran regionalnya. Sementara bagi Jepang, penolakan untuk sepenuhnya mengakui narasi China dipandang sebagai upaya mempertahankan integritas kedaulatan dan identitas nasionalnya. Konflik narasi ini menciptakan jurang kepercayaan yang sulit dijembatani.
Sengketa Maritim dan Ambisi Geopolitik
Di ranah kontemporer, Sengketa Kepulauan Senkaku (disebut Diaoyu oleh China) menjadi konflik paling eksplosif. Gugusan pulau tak berpenghuni yang dikelola oleh Jepang ini diklaim sepenuhnya oleh China. Peningkatan aktivitas kapal penjaga pantai dan kapal militer China di zona perairan sekitar pulau tersebut telah menjadi rutinitas yang mengancam status quo.
Insiden-insiden maritim ini bukan sekadar perebutan teritorial, melainkan manifestasi dari ambisi geopolitik yang lebih besar. Bagi China, kontrol atas wilayah tersebut adalah bagian dari strategi maritim yang lebih luas untuk mendominasi Laut China Timur dan Pasifik Barat. Sementara bagi Jepang, mempertahankan kontrol atas Senkaku adalah pertahanan fundamental atas kedaulatan wilayahnya, didukung oleh aliansi keamanannya dengan Amerika Serikat.
Pemerintahan di Tokyo semakin menyadari perlunya peningkatan kapabilitas pertahanan sebagai respons terhadap modernisasi militer China. Dokumen strategi pertahanan Jepang belakangan ini secara eksplisit menyebut China sebagai “tantangan strategis terbesar” bagi keamanan nasional. Pergeseran doktrin ini menandakan bahwa Jepang tidak lagi sekadar pasif dalam menghadapi eskalasi.
Dampak Regional dan Pilihan Diplomasi
Ketegangan antara Tokyo dan Beijing memiliki dampak riak yang meluas ke seluruh Asia. Negara-negara tetangga seperti Korea Selatan, Filipina, dan negara-negara ASEAN dipaksa untuk menavigasi perairan diplomatik yang rumit. Mereka harus memilih antara kemakmuran ekonomi yang ditawarkan oleh China dan jaminan keamanan yang dipertahankan oleh Jepang dan AS.
Di tengah situasi ini, diplomasi tingkat tinggi menjadi sangat penting. Meskipun hubungan formal seringkali terlihat dingin, saluran komunikasi—terutama di level teknis dan ekonomi—tetap dibuka. Para analis percaya bahwa kedua negara tidak akan membiarkan ketegangan ini berubah menjadi konflik terbuka, mengingat kerugian ekonomi yang tak terbayangkan bagi kedua belah pihak dan dunia.
Namun, modus vivendi saat ini terlihat rapuh. Kecelakaan tak terduga (miscalculation) di laut atau udara dapat dengan cepat meningkatkan ketegangan menjadi krisis. Oleh karena itu, tugas diplomatik Beijing dan Tokyo adalah membangun mekanisme manajemen risiko yang lebih kuat dan mencari titik temu—sekalipun hanya di sektor-sektor non-politik seperti kerja sama iklim dan kesehatan global—untuk mencegah spiral konfrontasi yang semakin dalam.
Relasi China-Jepang akan terus menjadi simpul kompleks antara nostalgia masa lalu dan tuntutan masa depan. Stabilitas di Asia Timur sangat bergantung pada kemampuan kedua raksasa ini untuk menemukan titik keseimbangan antara persaingan strategis dan kepentingan bersama yang tak terhindarkan.
Related Keywords: Sengketa Senkaku, Geopolitik Asia Timur, Warisan Perang Dunia II, Diplomasi China, Keamanan Jepang
