BeritaKriminalitas

Tragedi Cemburu di Kebon Jeruk: Istri Potong Kelamin Suami Hingga Tewas, Rekonstruksi Ungkap Kronologi Kelam

Jakarta, 21 Oktober 2025 — Di sebuah rumah sederhana di Kelurahan Sukabumi Utara, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, sebuah pernikahan yang seharusnya menjadi tempat perlindungan berubah menjadi neraka. HZ, 33 tahun, wanita yang dikenal tetangga sebagai ibu rumah tangga biasa, kini meringkuk di balik jeruji besi setelah menganiaya suaminya, H, 35 tahun, dengan cara yang tak terbayangkan: memotong alat kelamin pria itu hingga putus. Aksi kejam itu, yang dipicu cemburu buta atas isi chat di ponsel suami, berujung maut. H meninggal dunia 23 hari kemudian di RSCM, meninggalkan luka yang tak hanya fisik, tapi juga pertanyaan besar tentang batas amarah dalam rumah tangga.

Kanit Reskrim Polsek Kebon Jeruk, AKP Ganda Sibarani, mengungkap motif di balik kekejaman itu dengan nada hati-hati, seolah memilih kata-kata agar tak menambah pilu. “Pelaku cemburu setelah melihat pesan di ponsel korban yang diduga berhubungan dengan wanita lain,” ujarnya kepada wartawan usai rekonstruksi di Mapolsek Kebon Jeruk, Selasa siang. Bukan sekadar amarah sesaat, tapi ledakan emosi yang terpendam lama, yang meledak pada Minggu, 20 Juli 2025—sebuah tanggal yang kini jadi mimpi buruk bagi keluarga.

Kronologi kejadian, yang direkonstruksi melalui 18 adegan oleh polisi beserta saksi, terungkap seperti babak film horor yang tak ada akhir bahagianya. Malam itu, HZ mengambil ponsel H yang tergeletak di meja kamar. Matanya menyapu layar, dan apa yang ia temukan—pesan-pesan mesra dengan wanita lain—seperti bensin yang disiram ke api. Emosi membara, HZ mencoba membangunkan suaminya, berharap keintiman bisa meredakan gejolak hatinya. Tapi H menolak, bangkit, dan berjalan ke kamar mandi, meninggalkan istrinya sendirian dengan amarah yang menggerogoti.

Tak kuat lagi, HZ melangkah ke dapur. Tangan gemetar meraih pisau cutter—alat sederhana yang biasa dipakai memotong kertas atau makanan, tapi malam itu jadi senjata mematikan. Kembali ke kamar, ia mendekati H yang sudah berbaring lagi, tanpa celana, tertidur lelap. Dengan satu tebasan, organ vital itu terputus. H terbangun di tengah rasa sakit yang tak tertahankan, menatap istrinya dengan mata penuh kebingungan dan ketakutan. “Kenapa kamu lakukan ini?” tanyanya, suaranya parau campur darah. HZ, masih diliputi amarah, menjawab dengan tuduhan: “Kamu selingkuh!” Potongan organ itu HZ masukkan ke plastik, panik, sebelum akhirnya mengantar suaminya ke RS Anggrek Mas dengan motor. Dari sana, H dirujuk ke RSCM, tapi nyawanya tak tertolong. Ia menghembuskan napas terakhir pada 12 Agustus 2025, 23 hari setelah tragedi itu.

Rekonstruksi Selasa pagi itu berlangsung tegang, meski tanpa darah sungguhan. HZ, dengan wajah pucat dan mata sembab, memerankan setiap langkahnya di hadapan polisi dan saksi. Adegan demi adegan—dari membuka ponsel hingga tebasan pisau—dijalani dengan hati-hati, tapi cukup membuat hadirin geleng-geleng kepala. “Ini bukti bahwa cemburu bisa membutakan, tapi bukan pembenaran,” kata Ganda, menekankan bahwa polisi menerima laporan tiga hari setelah kejadian, saat H sudah terbaring di RSCM. Penyelidikan cepat mengarah ke HZ, yang kini dijerat Pasal 354 KUHP tentang penganiayaan berat, dengan ancaman maksimal sembilan tahun penjara.

Kasus ini bukan yang pertama, tapi tetap mengguncang karena skalanya yang ekstrem. Di Indonesia, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sering kali berujung tragedi, dengan data Komnas Perempuan mencatat 289 ribu kasus pada 2024 saja—mayoritas dialami perempuan, tapi kasus balik seperti ini jarang tapi menghancurkan. HZ, yang menurut tetangga adalah istri penyabar, mungkin sudah lama menahan luka hati. “Mereka kelihatan biasa aja, sering saling sapa. Siapa sangka,” bisik seorang ibu rumah tangga di gang sempit Sukabumi Utara, sambil menggendong anaknya. Cemburu, kata psikolog klinis Rina Pratiwi dari Universitas Indonesia, sering jadi pemicu, tapi akarnya lebih dalam: kurangnya komunikasi, tekanan ekonomi, atau trauma masa lalu. “Cemburu buta seperti ini adalah jeritan bantuan yang salah arah,” ujarnya, menambahkan bahwa korban seperti H sering jadi sasaran karena dianggap “milik” dalam ikatan pernikahan yang tak sehat.

Bagi keluarga H, kehilangan ini seperti badai yang tak kunjung reda. Saudara korban, yang enggan disebut namanya, hanya bisa menggeleng saat dihubungi. “Kami kehilangan kakak bukan karena sakit biasa, tapi karena tangan orang terdekat. Ini pahit sekali.” Mereka tak menyangka luka yang awalnya dianggap bisa sembuh justru merenggut nyawa, meninggalkan HZ sendirian menghadapi proses hukum. Sementara itu, di masyarakat, kasus ini memicu diskusi panas di media sosial: ada yang menyalahkan H atas perselingkuhannya, ada pula yang prihatin pada HZ sebagai korban KDRT emosional. Tapi yang jelas, ini pengingat bahwa rumah tangga butuh lebih dari janji suci—komunikasi terbuka, konseling, dan kesadaran bahwa amarah tak boleh jadi senjata.

Polisi menegaskan komitmennya mencegah kasus serupa. “Kami edukasi masyarakat soal KDRT, jangan diam saja. Laporkan dini,” pesan Ganda. Di tengah hiruk-pikuk Jakarta yang tak pernah tidur, tragedi di Kebon Jeruk ini jadi cermin gelap: betapa dekatnya cinta dengan kehancuran, dan betapa pentingnya mencari bantuan sebelum terlambat. HZ mungkin akan diadili, tapi luka yang ia timbulkan tak akan pernah benar-benar sembuh—bukan hanya bagi H, tapi bagi semua yang menyaksikan babak pilu ini.

Related Keywords: potong kelamin suami, KDRT Jakarta Barat, rekonstruksi Kebon Jeruk, penganiayaan berat Pasal 354, cemburu selingkuh