GlobalPendidikan

Siswa di Perbatasan Timor Leste Ikuti Ujian ANBK di Rumah Warga Akibat Kendala Internet

Belu, NTT — Di tengah gempuran digitalisasi pendidikan, kisah siswa di perbatasan Indonesia–Timor Leste kembali membuka mata tentang kesenjangan infrastruktur. Puluhan pelajar di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, terpaksa mengikuti Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) bukan di sekolah, melainkan di rumah warga.

Hal ini terjadi karena akses jaringan internet di sekolah mereka sangat terbatas, bahkan nyaris tidak bisa digunakan. Demi tetap bisa mengikuti ujian yang diwajibkan pemerintah, pihak sekolah memutuskan meminjam rumah warga yang kebetulan memiliki sinyal internet lebih baik.


Perjuangan Belajar di Perbatasan

Salah satu guru pendamping menjelaskan bahwa kondisi jaringan di sekolah seringkali mati total. Bahkan, upaya menggunakan modem portabel dan antena tambahan tidak banyak membantu. Situasi ini membuat pihak sekolah harus kreatif mencari solusi.

“Kalau dipaksakan di sekolah, anak-anak bisa gagal ikut ANBK. Karena itu kami cari rumah warga yang punya jaringan lebih stabil,” ujarnya.

Di rumah warga tersebut, siswa duduk berjejer di ruang tamu sederhana, sebagian menumpang meja kecil, sebagian lain menggunakan lantai beralas tikar. Meskipun kondisi jauh dari ideal, mereka tampak antusias mengikuti ujian.


Kendala Infrastruktur di Daerah 3T

Kisah ini bukan yang pertama kali terjadi di wilayah perbatasan. Masalah klasik berupa keterbatasan internet, listrik, dan perangkat teknologi masih menghantui banyak sekolah di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar).

Di Belu, beberapa sekolah bahkan masih mengandalkan genset untuk memastikan komputer bisa menyala saat ujian. Ketika listrik padam atau jaringan hilang, proses ujian bisa terhenti begitu saja.

Pemerhati pendidikan di NTT menilai pemerintah perlu memperhatikan serius kesenjangan infrastruktur pendidikan. “ANBK memang penting untuk pemetaan kualitas pendidikan, tapi jangan sampai anak-anak di perbatasan dikorbankan karena sistem belum merata,” tegas seorang aktivis pendidikan lokal.


Harapan Siswa dan Guru

Meski menghadapi keterbatasan, para siswa tetap bersemangat. Seorang siswa kelas IX SMP mengaku senang bisa ikut ujian meski harus menumpang di rumah tetangga. “Yang penting kami bisa ikut, supaya sama dengan teman-teman di kota,” katanya.

Para guru berharap ke depan ada pemerataan akses internet dan dukungan perangkat digital di sekolah-sekolah perbatasan. Bagi mereka, pendidikan adalah garda terdepan menjaga perbatasan, dan kualitasnya tidak boleh tertinggal hanya karena infrastruktur.


Kesimpulan

Kisah siswa di Belu ini memperlihatkan wajah nyata pendidikan di perbatasan: semangat belajar tinggi, tetapi dibatasi oleh infrastruktur yang minim. Meski harus mengikuti ujian ANBK di rumah warga, mereka tetap berjuang agar tidak ketinggalan.

Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa akses internet dan teknologi bukan lagi fasilitas tambahan, melainkan kebutuhan pokok dalam pendidikan modern.