Kesehatan

Psikolog Sebut Generasi Alpha Paling Rentan Depresi, Kenapa Bisa?

JAKARTA — Seorang psikolog dari Universitas Gadjah Mada memperingatkan bahwa Generasi Alpha (lahir 2010–2024) berisiko tinggi mengalami depresi. Menurutnya, pola tumbuh di era digital dan paparan informasi sejak kecil membuat mereka rentan terhadap tekanan emosional dan gangguan mental serius.


Alarm Darurat Kesehatan Mental Anak

Nurul Kusuma Hidayati, Manajer Center for Public Mental Health (CPMH) UGM, menyebut lonjakan insiden bunuh diri di kalangan anak-anak sebagai “wake-up call” bagi seluruh elemen masyarakat. Dalam keterangannya, ia menegaskan bahwa kesehatan mental anak harus menjadi prioritas, tidak cukup hanya prestasi akademis.
Fenomena ini dipandangnya sebagai sinyal bahwa generasi Alpha menghadapi potensi risiko kelelahan emosional (emotional burnout) jauh lebih dini.


Mengapa Generasi Alpha Lebih Rentan?

Menurut Nurul, ada sejumlah faktor unik yang membuat Gen Alpha lebih rapuh secara psikologis:

  1. Paparan Teknologi Sejak Dini: Mereka tumbuh di era digital, dengan akses internet dan perangkat pintar dari sangat muda.
  2. Banjir Informasi: Kehidupan di dunia maya berarti anak-anak Gen Alpha terus-menerus terpapar banyak informasi — tak selalu positif — yang bisa menimbulkan stres tambahan.
  3. Interaksi Virtual Intens: Interaksi sosial mereka kerap lewat layar, yang membatasi pengalaman “belajar emosi” secara langsung dan autentik.
  4. Kematangan Emosional Belum Mapan: Karena usia masih sangat muda, kemampuan mengatur perasaan dan pikiran belum stabil, sementara tuntutan emosional sudah besar.

Kombinasi ini, menurut Nurul, bisa “menjebak” anak-anak generasi Alpha pada tekanan mental yang berat dan berisiko berkembang menjadi gangguan depresi atau bahkan tindakan ekstrem.


Tantangan dalam Pencegahan

Nurul juga menggarisbawahi beberapa tantangan utama dalam mencegah depresi pada Gen Alpha:

  • Literasi Kesehatan Mental Rendah: Orang tua dan guru masih banyak yang tidak mengenali tanda awal gangguan psikologis pada anak
  • Celakanya Komunikasi Antar Generasi: Dialog empatik antara anak dan orang dewasa sering sulit dibangun, padahal itu penting untuk deteksi dini dan dukungan emosional.
  • Kurangnya Pengelolaan Emosi: Anak-anak kurang mendapatkan pendidikan emosi langsung dari orang tua, karena peran pengasuhan kini banyak “ditengah” media digital.
  • Filter Informasi yang Kurang: Anak cenderung menyerap informasi dari internet tanpa cukup filter dan bimbingan, yang bisa memperburuk stres emosional.

Solusi & Rekomendasi Psikolog

Untuk mengurangi risiko depresi dan kelelahan emosional generasi Alpha, Nurul menyarankan langkah-langkah sebagai berikut:

  • Batasi Waktu Layar (Screen Time): Orang tua perlu menetapkan batas penggunaan gadget agar anak punya waktu jeda dari dunia digital.
  • Peran Orang Tua sebagai Pelatih Emosi: Orang tua harus menjadi contoh dalam mengekspresikan perasaan, serta aktif membantu anak belajar mengelola emosi dengan sehat.
  • Rujukan Sekolah ke Profesional: Sekolah disarankan menyediakan konselor atau psikolog agar anak bisa mendapatkan dukungan tepat waktu saat butuh.
  • Membangun Literasi Mental di Keluarga & Sekolah: Edukasi tentang kesehatan mental harus ditingkatkan di rumah dan lembaga pendidikan, agar deteksi isu psikologis bisa lebih cepat.

Pentingnya Kesadaran Publik

Nurul menekankan bahwa kesadaran masyarakat mesti meningkat: depresi pada anak bukan hanya masalah individu, tetapi juga masalah sosial yang butuh respons kolektif.
Dia mengajak orang tua, pendidik, dan pemangku kebijakan untuk lebih peka dan proaktif. Bila ditangani dengan baik, masalah kesehatan mental pada generasi muda bisa ditekan sebelum berkembang menjadi krisis.


Kesimpulan

Psikolog UGM, Nurul Kusuma Hidayati, menyatakan bahwa Generasi Alpha adalah kelompok yang sangat rentan terhadap depresi karena paparan digital dan tekanan emosional sejak usia dini. Kombinasi antara banjir informasi, interaksi virtual, dan kematangan emosional yang belum matang memperbesar risiko kelelahan mental. Untuk menanggulanginya, diperlukan kolaborasi antara orang tua, sekolah, dan profesional kesehatan mental agar generasi tersebut bisa tumbuh secara sehat, kuat, dan seimbang.