Gula Membunuh Generasi Muda? Diabetes, Obesitas Melonjak Pesat Akademisi Desak Pemerintah Perkuat Regulasi Gula
Jakarta, BeritaSekarang.Id – Lonjakan kasus diabetes dan obesitas di Indoensia kini menjadi sinyal darurat kesehatan publik.
Ditengah maraknya konsumsi gula masyarakat sudah tiga kali lipat lebih tinggi dari rekomendasi WHO.
Para akademisi dari Departemen Kajian dan Advokasi Masyarakat (KADVOMAS) Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) mendesak pemerintah, khususnya di BPOM RI, untuk lekas perkuat regulasi kepada konsumsi gula dan pemanis buatan ultra proses.
- Desakan Akademisi
Dalam audiensi berbareng Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI di Jakarta, Senin (13/10), para akademisi menyoroti lemahnya pemantauan terkait pelabelan gizi yang tidak layak, juga belum diterapkan kebijakan pajak kemasan minuman berpemanis (sugar tax) yang sudah lama di wacanakan.
“Masalahnya bukan sekadar rasa manis, tetapi sistem pengendalian yang belum tegas dan belum intuitif, baik di tingkat label maupun sanksi. Rata-rata masyarakat Indonesia mengonsumsi 15–20 sendok teh gula per hari tiga kali lipat dari batas WHO yang hanya enam sendok teh per hari. Lebih dari 75 persen produk kemasan di pasaran masih mengandung gula buatan tinggi,” ungkap Anggitaningtyas Dzaky Salsabila, perwakilan KADVOMAS FKM UI, mengutip data Kemenkes (2023) dan BPS (2022).
- Peraturan UUD BPOM Tentang Gizi
Selaku lembaga yang bertanggung jawab mengawasi obat dan makanan sesuai Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017, BPOM sebetulnya telah menguasai yang cukup kuat. Melalui Peraturan BPOM No. 26 Tahun 2021 tentang informasi Nilai Gizi (ING) dan Peraturan BPOM No. 11 Tahun 2019 tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP), lembaga ini mewajibkan pencantuman kadar gula, garam, dan lemak (GGL) juga mengatur batas aman penggunaan pemanis buatan misalnya aspartam, sakarin, dan sukralosa.
Meskipin dilapangan , implementasi kebijakan itu belum dilaksanakan maksimal. Label nilai gizi dinilai masih sulit di mengerti bagi orang awam, sementara front-of-pack nutrition label (FoPNL) atau label gizi dikemasan masih samar.
“Banyak produk tinggi gula beredar tanpa label peringatan yang mudah dipahami. Padahal, label sederhana seperti warna atau simbol bisa meningkatkan kesadaran publik. Pengawasan pasca-edar juga masih menemukan ketidaksesuaian antara komposisi produk dengan dokumen pra-izin,” jelas Anggita
Ia menegaskan kalau sistem pemantauan harus di perkuat menyeluruh dari hulu ke hilir, mulai dari izin edar sampai kontrol pasar.
- UUD Tentang Kesehatan
Tidak cuma itu, PP No. 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan , khususnya Pasal 194,195, dan 200, kini menyampaikan dasar hukum baru terkait konsumsi gula dan pemanis buatan.
Meski demikian, aturan turunannya berupa Permenkes baru yang menggantikan Permenkes No. 30 Tahun 2013 tentang Label Pangan Olahan, masih menantikan finalisasi.
BPOM juga menyusun draft kebijakan FoPNL sejak tahun lalu. tetapi implementasinya tertunda karena menunggu sinkronisasi lintas kementerian. Di sisi lain hasil riset UGM membuktikan indonesia menghuni posisi ketiga di Asia Tenggara terkait konsumsi minuman berpemanis kemasan sekitar 20,23 liter per orang pertahun- menunjukkan kebijakan pengawasan tidak efektif di lapangan.
- Respon BPOM
BPOM menegaskan kalau edukasi dan literasi gizi juga jadi peran penting dalam pemantauan. Melalui program Desa Aman Panagan, BPOM menyusun kader pangan di beragam daerah untuk memberikan penyuluhan, edukasi, dan pemantauan mandiri.
“Jadi tidak hanya bicara soal pengawasan, tapi juga perubahan perilaku. Literasi gizi harus ditanamkan sejak dini,” ujar salah satu pejabat BPOM dalam forum tersebut.
- Kesimpulan
Lonjakan kasus diabetes dan obesitas di indonesia jadi alarm serius bagi kesehatan publik, terutama akibat tingginya konsumsi gula masyaratat yang mencapai tiga kali lipat dari batas aman WHO. Meski BPOM telah memiliki dasar hukum regulasi pengaturan pelabelan gizi dan penggunaan pemanis buatan, Para akademis dari KM UI mendesak pemeritnah memperkuat regulasi dan pengawasan gizi terutama gula.

