EkonomiGlobal

76 Tahun China Berdiri: Dari Negeri Terpuruk Jadi Kekuatan Dunia

Beijing — Tujuh puluh enam tahun lalu, pada 1 Oktober 1949, Mao Zedong berdiri di atas podium Tiananmen dan memproklamasikan berdirinya Republik Rakyat China (RRC). Kala itu, China hanyalah negeri yang baru keluar dari perang saudara, miskin, dan terkucil dari dunia. Kini, lebih dari tujuh dekade kemudian, China menjelma menjadi raksasa ekonomi dan teknologi yang mengubah wajah global.

Perjalanan dari negeri agraris yang terpuruk menuju kekuatan dunia tidak terjadi semalam. Ia ditempa oleh revolusi, kebijakan besar, eksperimen ekonomi, dan perubahan sosial masif — sering kali disertai pengorbanan manusia yang tak sedikit.


Dari Revolusi ke Rehabilitasi Ekonomi

Pada awal berdirinya, China menghadapi kemiskinan ekstrem. Infrastruktur hancur akibat perang, produksi pangan minim, dan sistem industri nyaris tidak ada. Mao Zedong berusaha membangun lewat visi sosialis — seperti The Great Leap Forward (1958–1962) — namun eksperimen itu gagal total. Jutaan orang meninggal akibat kelaparan.

Baru pada era Deng Xiaoping di akhir 1970-an, China mulai berbalik arah. Deng memperkenalkan “Reformasi dan Keterbukaan”, sebuah kebijakan ekonomi yang membuka pintu bagi kapitalisme dalam kerangka negara sosialis.

Kalimat terkenalnya, “Tidak peduli kucing hitam atau kucing putih, yang penting bisa menangkap tikus,” menjadi simbol pragmatisme baru China. Negara mulai mengizinkan kepemilikan pribadi, investasi asing, dan pasar bebas terbatas — namun tetap di bawah kendali Partai Komunis.


Keajaiban Ekonomi Dunia

Empat dekade berikutnya menjadi sejarah kebangkitan ekonomi tercepat dalam sejarah manusia. China tumbuh rata-rata lebih dari 9% per tahun selama 30 tahun berturut-turut. Dari negara dengan PDB hanya USD 150 miliar pada 1978, kini nilainya melampaui USD 18 triliun — menjadikannya ekonomi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat.

Kota-kota kecil berubah menjadi megapolitan: Shenzhen, yang dulu kampung nelayan, kini menjadi pusat teknologi dunia tempat lahirnya Huawei, BYD, dan Tencent. Infrastruktur supermodern dibangun di seluruh negeri — dari jalur kereta cepat hingga jembatan laut raksasa.

China bukan lagi pabrik murah dunia; kini ia adalah laboratorium teknologi masa depan. Dari kecerdasan buatan hingga eksplorasi ruang angkasa, Beijing bersaing langsung dengan Silicon Valley.


Kekuatan Politik dan Diplomasi Baru

Di kancah global, kebangkitan ekonomi membawa kepercayaan diri baru. China tidak lagi puas menjadi “pemain belakang”, melainkan mulai membentuk tatanan dunia alternatif melalui inisiatif Belt and Road (BRI) — proyek infrastruktur lintas benua yang menghubungkan Asia, Afrika, hingga Eropa.

Melalui BRI, Beijing memperkuat hubungan dengan lebih dari 140 negara, membangun pelabuhan, rel kereta, dan jaringan komunikasi digital. Kritik muncul bahwa proyek itu menciptakan “jebakan utang” bagi negara berkembang, namun tak dapat dipungkiri: pengaruh China kini menjangkau hampir seluruh dunia.

Di sisi lain, kebijakan luar negeri yang tegas — terutama di Laut China Selatan dan isu Taiwan — menimbulkan ketegangan dengan Barat. Hubungan dengan AS pun berubah dari kerja sama ekonomi menjadi persaingan geopolitik total.


Strategi Teknologi dan Energi

China paham bahwa masa depan ekonomi dunia terletak pada teknologi tinggi dan energi bersih. Itulah sebabnya negara ini agresif mengembangkan industri baterai, kendaraan listrik, dan chip kuantum.

Perusahaan seperti CATL dan BYD kini memimpin pasar global baterai EV. Sementara di bidang kecerdasan buatan, China menyaingi AS dengan sistem AI raksasa seperti Baidu Ernie dan SenseTime.

Dalam energi terbarukan, Beijing menjadi pemasok utama panel surya dan turbin angin dunia. Tahun 2024, lebih dari 60% produksi solar panel dunia berasal dari China.

Kemandirian teknologi menjadi agenda strategis nasional, terutama sejak Amerika melarang ekspor chip canggih. Alih-alih mundur, China justru mempercepat inovasi domestik dengan dana riset miliaran dolar.


Bayang-Bayang Tantangan

Meski tampak perkasa, jalan China tidak bebas hambatan. Ekonomi kini menghadapi perlambatan, krisis properti, dan utang pemerintah daerah yang menumpuk.

Demografis juga menjadi ancaman serius. Populasi China mulai menyusut untuk pertama kalinya dalam 60 tahun, dan penuaan cepat mengancam produktivitas jangka panjang.

Dari sisi politik, sistem satu partai menghadapi tekanan untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat kelas menengah yang makin vokal. Namun, Partai Komunis di bawah Xi Jinping memilih jalan konsolidasi kekuasaan, bukan liberalisasi.


China di Mata Dunia

Hari ini, banyak negara memandang China dengan dua wajah:

  • Sebagai mitra ekonomi yang kuat, sumber investasi, dan pasar besar.
  • Sebagai pesaing ideologis dan ancaman ekonomi, terutama di mata negara Barat.

Namun, bagi banyak negara berkembang, terutama di Asia dan Afrika, China dipandang sebagai model baru pembangunan — cepat, terencana, dan tak bergantung pada demokrasi liberal.

Sebagaimana dilaporkan CNBC Indonesia, selama 76 tahun berdiri, China telah membuktikan bahwa jalan pembangunan tak harus identik dengan model Barat.


Refleksi: Dari Tiananmen ke Dunia

Kisah China adalah kisah kontras: antara revolusi dan modernisasi, antara kontrol dan kemajuan, antara ideologi dan pragmatisme.
Dari titik nol di tahun 1949 hingga menjadi kekuatan global di 2025, transformasi China menunjukkan satu hal: disiplin, strategi jangka panjang, dan kesabaran bisa mengalahkan kecepatan sesaat.

Kini, dunia menyaksikan fase baru: apakah China akan mampu menjaga keseimbangan antara ambisi global dan stabilitas domestik?