EkonomiPengetahuan umum

Fenomena Quiet Quitting di Kantor Indonesia: Tren Kerja Modern & Dampaknya

Pandemi COVID-19 mengubah cara kita bekerja. Di era kerja fleksibel dan digital, muncul fenomena baru yang ramai dibahas: quiet quitting. Quiet quitting adalah perilaku pekerja disengaja menahan performa di kantor, hanya melakukan pekerjaan sesuai deskripsi resmi tanpa melakukan ekstra kerja atau “overachiever”.

Artikel ini membahas secara mendalam fenomena quiet quitting di Indonesia: pengertian, penyebab, dampak, studi kasus, dan strategi menghadapi tren ini baik bagi karyawan maupun manajemen perusahaan.

Apa Itu Quiet Quitting?

Quiet quitting bukan berhenti kerja atau resign, melainkan sikap disengaja untuk tidak melakukan lebih dari tanggung jawab yang resmi. Pekerja tetap hadir, menyelesaikan tugas utama, tetapi menolak beban kerja tambahan yang tidak diakui atau dihargai.

Sejarah & Tren Global

  • Awal 2021: Fenomena ini ramai di media internasional, terutama di Amerika Serikat dan Eropa.
  • Pandemi COVID-19 memicu banyak pekerja menilai ulang work-life balance.
  • 2022–2023: Quiet quitting menjadi topik hangat di LinkedIn, TikTok, dan media profesional.
  • 2024–2025: Tren ini mulai terlihat di Indonesia, terutama di perusahaan startup, digital, dan BUMN modern.

Penyebab Quiet Quitting di Indonesia

  • Burnout: Tekanan pekerjaan tinggi tanpa kompensasi memadai.
  • Kompensasi Tidak Seimbang: Upah dan benefit tidak sesuai kontribusi ekstra.
  • Kurangnya Pengakuan: Prestasi tidak dihargai atau dicatat perusahaan.
  • Gaya Manajemen Tradisional: Pemimpin otoriter atau kurang fleksibel.
  • Perubahan Generasi: Generasi Z dan milenial menuntut work-life balance lebih tinggi.

Dampak Quiet Quitting

  1. Produktivitas Perusahaan: Berkurang karena pekerja menahan energi ekstra.
  2. Budaya Kerja: Bisa menimbulkan disengagement atau ketidakpuasan massal.
  3. Kesehatan Mental Pekerja: Menurunnya stres karena menolak beban tambahan, tapi bisa juga konflik internal.
  4. Hubungan Karyawan-Manajemen: Menjadi lebih tegang jika tidak ada komunikasi terbuka.

Studi Kasus di Indonesia

  • Startup digital di Jakarta: Banyak karyawan Gen Z menolak lembur tanpa insentif tambahan.
  • Perusahaan BUMN: Karyawan senior menyesuaikan jam kerja, fokus pada KPI utama tanpa proyek tambahan.
  • Perusahaan swasta multinasional: Hybrid working memunculkan “quiet quitting” berupa disengagement virtual.

Perbedaan Quiet Quitting & Resign

  • Resign: meninggalkan pekerjaan dan kontrak.
  • Quiet Quitting: tetap bekerja, hanya menolak ekstra beban.
  • Resign berdampak langsung pada perusahaan; quiet quitting dampaknya lebih halus tapi lama-lama signifikan.

Cara Menghadapi Quiet Quitting bagi Karyawan

  1. Evaluasi tujuan karier dan keseimbangan hidup.
  2. Komunikasikan batasan kerja dengan atasan secara profesional.
  3. Manfaatkan fleksibilitas kerja seperti hybrid working atau remote working.
  4. Fokus pada produktivitas inti tanpa merasa bersalah menolak tugas tambahan yang tidak dihargai.
  5. Bangun komunitas atau mentor untuk dukungan psikologis dan profesional.

Cara Menghadapi Quiet Quitting bagi Manajemen

  • Meningkatkan transparansi dan penghargaan terhadap kontribusi karyawan.
  • Menciptakan budaya kerja sehat yang mendukung work-life balance.
  • Menerapkan kebijakan fleksibilitas kerja dan insentif yang adil.
  • Memberikan jalur komunikasi terbuka dan feedback rutin.
  • Memahami kebutuhan generasi Z dan milenial agar tidak menimbulkan disengagement.

Tips Preventif untuk Perusahaan

  1. Rancang KPI yang realistis dan adil.
  2. Terapkan hybrid working dan workcation sebagai benefit.
  3. Beri pengakuan formal & informal untuk kerja ekstra.
  4. Fasilitasi program kesehatan mental dan relaksasi.
  5. Libatkan karyawan dalam pengambilan keputusan agar merasa dihargai.

Masa Depan Quiet Quitting di Indonesia

Dengan semakin besarnya generasi Z dan milenial di dunia kerja, quiet quitting kemungkinan akan terus muncul sebagai indikator penting bagi budaya kerja. Perusahaan yang gagal menyesuaikan diri dengan kebutuhan fleksibilitas, work-life balance, dan pengakuan karyawan akan menghadapi disengagement massal. Sebaliknya, organisasi yang responsif terhadap tren ini akan membangun loyalitas, produktivitas berkelanjutan, dan reputasi positif.

Kesimpulan

Fenomena quiet quitting bukan sekadar tren, tapi cermin budaya kerja modern. Pekerja menolak performa ekstra tanpa penghargaan, menekankan pentingnya work-life balance dan keadilan kompensasi. Perusahaan dan karyawan harus beradaptasi: karyawan menetapkan batas profesional, manajemen menciptakan lingkungan kerja yang sehat, fleksibel, dan adil. Dengan begitu, produktivitas tetap terjaga dan kesejahteraan karyawan meningkat.

Internal Link Suggestion: Fenomena Workcation & Hybrid Working

External Reference Suggestion: BBC Worklife: What is Quiet Quitting?