Berita

Polemik Kolesterol dan Nutrisi: Berapa Sebenarnya Batas Aman Konsumsi Telur Harian?

JAKARTA, beritasekarang.id – Telur ayam telah lama menduduki posisi paradoksal dalam diskursus gizi global. Di satu sisi, ia dielu-elukan sebagai “superfood” yang terjangkau, padat nutrisi, dan sumber protein berkualitas tinggi. Namun, di sisi lain, selama beberapa dekade terakhir, reputasi telur sempat tercoreng oleh stigma sebagai “bom kolesterol” yang berbahaya bagi kesehatan jantung. Narasi ketakutan ini membuat banyak masyarakat modern membatasi konsumsi telur secara ekstrem, atau bahkan membuang bagian kuning telur yang justru kaya akan mikronutrien.

Kini, seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan nutrisi dan dietetika, konsensus medis mengenai telur mulai mengalami pergeseran signifikan. Pertanyaan mendasar yang kembali mengemuka di ruang publik adalah: berapa sebenarnya batas ambang aman konsumsi telur dalam sehari tanpa membahayakan profil lipid tubuh?

Dekonstruksi Mitos Kolesterol: Pergeseran Paradigma Medis

Untuk memahami batasan konsumsi, kita perlu membedah terlebih dahulu anatomi nutrisi sebutir telur. Satu butir telur ayam ras berukuran besar rata-rata mengandung sekitar 186 miligram kolesterol, yang seluruhnya terkonsentrasi di bagian kuning telur (yolk). Angka ini memang cukup tinggi jika dibandingkan dengan rekomendasi harian lama yang membatasi asupan kolesterol di bawah 300 miligram per hari.

Namun, studi-studi epidemiologi mutakhir menunjukkan bahwa hubungan antara kolesterol makanan (dietary cholesterol) dan kolesterol darah (blood cholesterol) tidaklah sesederhana hitungan matematika linier. Tubuh manusia memiliki mekanisme regulasi internal yang canggih di organ hati. Ketika asupan kolesterol dari makanan meningkat, hati cenderung mengurangi produksi kolesterol endogen.

Pakar kardiologi dan ahli gizi kini sepakat bahwa bagi mayoritas populasi manusia (sekitar 70 persen), konsumsi kolesterol dari telur memiliki dampak yang sangat minimal terhadap kenaikan Low-Density Lipoprotein (LDL) atau kolesterol jahat. Bahkan, telur diketahui dapat meningkatkan kadar High-Density Lipoprotein (HDL) atau kolesterol baik, yang justru berfungsi membersihkan pembuluh darah.

Angka Aman: Konteks Individu Menjadi Kunci

Berdasarkan data terbaru yang dirujuk dari berbagai otoritas kesehatan global, termasuk temuan yang dipublikasikan oleh American Heart Association (AHA), konsumsi satu hingga dua butir telur per hari masih dikategorikan aman bagi orang dewasa yang sehat. Bahkan, beberapa studi observasional menunjukkan bahwa konsumsi hingga tiga butir telur sehari tidak meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular secara signifikan pada individu tanpa riwayat penyakit penyerta.

Namun, narasi ini harus dibaca dengan tanda bintang besar: kondisi kesehatan setiap individu berbeda. Ada segelintir populasi yang disebut sebagai hyper-responders, di mana tubuh mereka bereaksi lebih sensitif terhadap asupan kolesterol makanan. Bagi kelompok ini, lonjakan LDL bisa terjadi lebih signifikan.

Selain itu, bagi penderita diabetes tipe 2 dan mereka yang sudah memiliki riwayat penyakit jantung koroner atau hiperkolesterolemia (kadar kolesterol tinggi), kewaspadaan tetap diperlukan. Rekomendasi medis untuk kelompok berisiko ini biasanya lebih konservatif, yakni membatasi konsumsi kuning telur tidak lebih dari 3-4 butir per minggu, meskipun konsumsi putih telur—yang murni protein—tetap diperbolehkan dalam jumlah yang lebih liberal.

Nutrisi Esensial di Balik Cangkang

Terlepas dari perdebatan kolesterol, mengeliminasi telur sepenuhnya dari diet harian bisa berarti kehilangan sumber nutrisi yang vital. Telur adalah paket lengkap biologis. Ia mengandung kolin (choline), nutrisi yang sangat penting untuk perkembangan otak dan fungsi memori, yang seringkali defisit dalam pola makan modern. Selain itu, telur juga kaya akan lutein dan zeaxanthin, antioksidan yang berperan krusial dalam menjaga kesehatan mata dan mencegah degenerasi makula terkait usia.

Protein dalam telur juga memiliki nilai biologis (Biological Value) yang sangat tinggi, artinya mudah diserap dan digunakan oleh tubuh untuk perbaikan jaringan otot. Ini menjadikan telur komponen penting dalam manajemen berat badan dan pencegahan sarkopenia (penyusutan otot) pada lansia.

Faktor Pengolahan: Bahaya Tersembunyi

Seringkali, masalah kesehatan yang timbul bukan berasal dari telur itu sendiri, melainkan dari “teman” penyertanya dan metode pengolahannya. Dalam budaya kuliner Barat maupun Asia, telur kerap disajikan bersama daging olahan tinggi lemak jenuh seperti sosis atau bacon, atau digoreng dalam minyak jelantah dan mentega dalam jumlah berlebih.

Metode pengolahan dengan suhu tinggi dan lemak jenuh tambahan inilah yang sebenarnya memicu peradangan dan risiko penyakit jantung. Telur yang direbus (boiled) atau dipop (poached) jauh lebih sehat dibandingkan telur dadar yang digoreng garing dalam minyak sawit.

Kesimpulan: Moderasi adalah Kunci

Kesimpulannya, telur tidak lagi dipandang sebagai musuh kesehatan publik. Bagi individu sehat dengan pola makan seimbang dan gaya hidup aktif, mengonsumsi 1-2 butir telur setiap hari adalah praktik yang aman dan bahkan dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan protein dan mikronutrien.

Kunci dari pola makan sehat bukanlah demonisasi satu jenis makanan, melainkan moderasi dan variasi. Memasukkan telur ke dalam diet yang kaya serat, sayuran, dan biji-bijian utuh akan memberikan manfaat optimal. Sebaliknya, mengandalkan telur sebagai satu-satunya sumber protein sambil mengabaikan asupan lemak jenuh dari sumber lain adalah resep bencana.

Masyarakat diimbau untuk berkonsultasi dengan ahli gizi klinis atau dokter spesialis guna mendapatkan rekomendasi yang dipersonalisasi, terutama jika memiliki faktor risiko genetik atau penyakit metabolik. Di era kedokteran presisi saat ini, satu pedoman umum tidak bisa lagi dipukul rata untuk semua orang.

Sumber: Disadur dan dianalisis dari laporan kesehatan DetikHealth serta referensi dietetika global.