Politik

DPR Minta Aparat Tidak Gunakan Kekerasan Terkait Pengibaran Bendera Bulan Bintang di Aceh

Jakarta, 27 Desember 2025 – Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin, meminta aparat keamanan tidak menggunakan kekerasan dalam merespons insiden pengibaran bendera Bulan Bintang di Aceh. Permintaan ini muncul setelah sejumlah video dan laporan media sosial memperlihatkan ketegangan antara aparat TNI dengan warga yang membawa bendera tersebut saat melakukan kegiatan sosial kemanusiaan di Aceh Utara.

Hasanuddin menegaskan bahwa situasi semacam itu seharusnya tidak dijawab dengan tindakan represif karena Aceh memiliki sejarah konflik panjang yang masih menyisakan sensitifitas tersendiri di tengah masyarakat. Ia menilai pendekatan yang bijaksana dan tenang jauh lebih efektif dalam meredakan ketegangan, terutama ketika masyarakat sedang berupaya membantu sesama di tengah kondisi yang menantang pascabencana di wilayah tersebut.

Konteks Insiden: Pengibaran Bendera Bulan Bintang

Insiden bermula ketika sejumlah warga Aceh Utara dan Pidie yang sedang dalam perjalanan membawa bantuan untuk daerah terdampak bencana alam mengibarkan bendera Bulan Bintang yang identik dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Aparat keamanan kemudian melakukan pembubaran dan pemeriksaan di lokasi, yang menurut beberapa video dan laporan menyebabkan bentrokan kecil antara aparat dengan masyarakat.

Dalam tanggapannya, TNI menyatakan bahwa langkah yang diambil merupakan upaya pembubaran secara terukur karena pengibaran simbol tersebut dinilai berpotensi mengganggu ketertiban umum. TNI mengklaim bahwa pendekatan awal yang digunakan bersifat persuasif sebelum terjadi adu mulut dan insiden di lapangan.

Namun, pernyataan ini mendapat kritik tajam dari berbagai pihak karena menurut mereka tindakan demikian menimbulkan keresahan di masyarakat, terutama di tengah situasi yang seharusnya lebih mengutamakan solidaritas sosial ketimbang konflik simbolik.

Seruan DPR: Meredam Ketegangan dan Hindari Kekerasan

Hasanuddin menegaskan bahwa setiap pihak, termasuk aparat keamanan, harus menahan diri dan tidak menggunakan kekerasan dalam menanggapi fenomena sosial seperti pengibaran bendera ini. Ia mengingatkan bahwa Aceh memiliki status otonomi khusus dan peraturan turunannya, termasuk Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh, yang memberikan ruang bagi simbol tersebut di tengah kehidupan masyarakat setempat.

Menurut Hasanuddin, pendekatan kekerasan justru berpotensi memperburuk situasi sosial di Aceh serta mengancam stabilitas keamanan daerah pascabencana. “Penyelesaian persoalan ini tidak boleh dilakukan dengan kekerasan, apalagi penggunaan senjata,” katanya dalam pernyataan resmi di Kompleks Parlemen, Jakarta.

Permintaan serupa juga disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono, yang mengimbau seluruh pihak di Aceh untuk saling menahan diri agar tidak terjadi gesekan yang justru memperburuk suasana di tengah fokus penanggulangan bencana.

Reaksi Pemerintah Daerah Aceh

Selain DPR, pemerintah provinsi Aceh pun menyatakan keprihatinannya atas insiden tersebut. Wakil Gubernur Aceh, Fadhlullah Dek Fadh, menyayangkan kekerasan yang terjadi antara oknum aparat dan warga saat razia bendera Bulan Bintang. Ia mengingatkan pentingnya kerja sama dan persatuan dalam menghadapi situasi pascabencana, bukan saling berkonfrontasi.

Tokoh lokal lainnya juga menyerukan agar semua pihak meredam ketegangan dan tidak terprovokasi oleh tindakan provokatif yang bisa memecah rasa kebersamaan di Aceh. Mereka menekankan bahwa solusi terhadap isu ini harus berdasarkan pemahaman hukum dan komunikasi yang baik, bukan eskalasi kekerasan.

Dinamika Sosial dan Politik di Aceh

Aceh sendiri memiliki sejarah panjang konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka dengan pemerintah Indonesia hingga tercapai kesepakatan damai MoU Helsinki pada 2005. Sejak itu, Aceh memiliki otonomi khusus serta peraturan yang memungkinkan penggunaan simbol-simbol daerah tertentu di luar konteks separatisme.

Namun, pengibaran simbol seperti bendera Bulan Bintang masih menimbulkan perdebatan di tengah masyarakat dan aparat, terutama ketika dikaitkan dengan ekspresi politik di luar konteks resmi. Kasus pengibaran yang terjadi akhir Desember ini membuka kembali diskusi tentang batasan simbol lokal dan peran aparat dalam merespons ekspresi sosial di daerah otonom seperti Aceh.

Kesimpulan: Ajakan Damai dan Pendekatan Proporsional

Insiden pengibaran bendera Bulan Bintang dan respons aparat yang disorot publik memunculkan kritik dari DPR serta tokoh lokal di Aceh. DPR menegaskan pentingnya pendekatan non-kekerasan dan dialogis agar konflik tidak berkembang lebih jauh. Pernyataan ini sejalan dengan upaya menjaga stabilitas sosial dan fokus terhadap tugas utama penanganan bencana serta pemulihan masyarakat Aceh.

Permintaan agar aparat menahan diri dan mengedepankan dialog bukan hanya aspirasi politik, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap hak ekspresi masyarakat di tengah dinamika sosial yang kompleks di wilayah yang memiliki sejarah panjang perjuangan dan perdamaian.