BeritaKesehatanPengetahuan umumPolitikViral

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Tanggapi Desakan Status Bencana Nasional di Sumatera

Jakarta — Menyikapi dorongan dari sejumlah politisi dan masyarakat untuk menetapkan status “bencana nasional” atas banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar), BNPB menyatakan bahwa keputusan itu sepenuhnya berada di tangan Prabowo Subianto selaku Presiden Republik Indonesia.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, Rabu (3/12/2025). Ia menegaskan bahwa meskipun bencana termasuk besar — dengan korban dan area terdampak yang luas — belum semua bencana besar otomatis mendapat status bencana nasional menurut regulasi.

BNPB menyatakan komitmen untuk terus bekerja maksimal, terlepas dari apakah status bencana nasional ditetapkan atau tidak. “Kami … terus mengupayakan seoptimal mungkin untuk mengejar distribusi logistik dan pencarian korban,” ujar Abdul Muhari.


Latar Belakang Tekanan untuk Status Bencana Nasional

Tekanan agar status bencana nasional segera ditetapkan datang dari sejumlah anggota parlemen dan tokoh publik. Misalnya, Komisi VIII DPR RI melalui Wakil Ketua Abidin Fikri menilai bahwa dampak bencana — korban jiwa, kerusakan infrastruktur, serta banyaknya pengungsi — sudah memenuhi kriteria untuk bencana nasional.

Desakan juga datang dari anggota DPR lainnya seperti dari fraksi PKS, serta aspirasi publik yang mengeluhkan kondisi sulit di lapangan — akses terputus, kebutuhan mendesak warga, serta kewalahan pihak daerah dalam penanganan darurat.

Tujuan penetapan status nasional, menurut para pendesak, adalah agar pemerintah pusat bisa memobilisasi seluruh sumber daya secara cepat, mempermudah distribusi bantuan, serta mengurangi beban birokrasi dalam penanganan darurat.


Argumentasi dan Penjelasan BNPB: Kenapa Belum Ditetapkan

Meski ada tekanan signifikan, BNPB bersama pemerintah melalui pejabat terkait menyatakan bahwa saat ini status bencana untuk Sumatera masih ditetapkan di tingkat provinsi — bukan nasional.

Menurut keterangan resmi (oleh Kepala BNPB sebelumnya), penetapan status bencana nasional dipertimbangkan berdasarkan sejumlah indikator — termasuk skala korban, kerusakan, akses ke lokasi terdampak, serta kondisi layanan publik. Dalam kasus sekarang, meskipun dampaknya luas, BNPB menyatakan bahwa beberapa indikator tersebut belum memenuhi standard untuk status nasional.

Namun demikian, BNPB menegaskan bahwa meskipun status resminya belum nasional, penanganan bencana telah dijalankan secara “nasional” — melibatkan pemerintah pusat, TNI/Polri, dan berbagai kementerian/lembaga, serta didukung logistik, evakuasi dan bantuan darurat.


Realitas di Lapangan: Krisis Korban dan Akses

Data resmi terakhir menunjukkan bahwa korban akibat banjir dan longsor di Sumatera terus bertambah, dengan ratusan korban meninggal, hilang, dan ribuan jiwa terdampak — membuat kebutuhan bantuan menjadi mendesak.

Banyak wilayah terdampak mengalami kerusakan parah pada infrastruktur: jalan, jembatan, fasilitas publik. Di sejumlah area, akses ke lokasi pengungsian dan lokasi terdampak masih terputus. Hal ini memperlambat evakuasi, distribusi logistik, dan pencarian korban hilang.

Pemerintah daerah pun kewalahan dalam menanggulangi dampak besar ini — menambah argumen bahwa penanganan secara nasional bisa mempercepat respons dan pemulihan.


Potensi Dampak Jika Status Nasional Tidak Ditetapkan

Beberapa pihak menilai bahwa tanpa status bencana nasional, penyaluran bantuan, pemulihan infrastruktur, dan rehabilitasi jangka panjang bisa terhambat. Terutama di wilayah terpencil, akses bantuan dapat terhambat prosedur, anggaran, serta koordinasi.

Penetapan status nasional dianggap penting untuk memberikan kepastian, membuka akses pendanaan lebih besar, dan memberikan dukungan sumber daya maksimal dari pusat — bukan hanya bantuan darurat, tetapi rencana jangka panjang pemulihan dan mitigasi bencana.

Namun, BNPB mengingatkan bahwa keputusan tetap berada di tangan Presiden, sesuai ketentuan hukum dalam Undang‑Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.


Refleksi: Kompleksitas Status Bencana vs Kepentingan Penanganan Cepat

Krisis bencana di Sumatera menunjukkan betapa sulitnya menyeimbangkan antara aspek legal-administratif dan kebutuhan darurat nyata di lapangan. Penetapan status nasional membawa implikasi besar — anggaran, koordinasi, bantuan internasional — tetapi prosedur hukum dan evaluasi indikator menjadi penentu utama.

Sementara itu, korban dan masyarakat terdampak tidak bisa menunggu prosedur lama: kebutuhan akan bantuan, evakuasi, dan pemulihan mendesak ingin segera terpenuhi.

BNPB, dalam pandangannya, telah menjalankan fungsi tanggap darurat secara intensif — menunjukkan bahwa “status” bukan satu-satunya tolok ukur penanganan maksimal. Namun banyak pihak, terutama korban dan masyarakat terdampak, berharap ada kepastian formal agar bantuan bisa lebih luas dan merata.


Kesimpulan: Penentuan Nasib Status Bencana Nasional di Tangan Presiden — Tapi Kebutuhan Mendesak Sudah Nyata

Desakan untuk menetapkan status bencana nasional di Sumatera sangat besar — dari DPR, masyarakat, dan aktor lembaga kemanusiaan — seiring dengan data korban dan kerusakan yang masif.

Sementara itu, BNPB menegaskan bahwa keputusan ada di tangan Presiden, dan bahwa penanganan sudah dilakukan secara nasional meskipun secara administratif bencana belum dinyatakan nasional.

Dalam situasi darurat seperti ini, yang paling dibutuhkan masyarakat adalah respons cepat, koordinasi efektif, dan tindakan nyata — formalitas status bencana tidak boleh menjadi penghalang bagi upaya penyelamatan dan pemulihan.

Semoga keputusan cepat diambil, dan korban juga segera mendapat bantuan yang layak serta pemulihan bisa dilakukan secara menyeluruh.