Unit 731: Eksperimen Sadis Jepang di China dan Bayang-Bayang Perang Dunia II
Jakarta, BeritaSekarang.id – Di balik gemuruh Perang Dunia II, pendudukan Jepang di China (1931–1945) menyisakan luka yang tak hanya datang dari pertempuran. Jauh di Harbin, sebuah kota di Manchuria, sebuah nama mencuat sebagai simbol kekejaman: Unit 731. Bukan sekadar laboratorium militer, unit ini menjadi pusat eksperimen biologi dan kimia yang mengerikan, menjadikan manusia sebagai kelinci percobaan demi ambisi imperial Jepang. Ribuan nyawa melayang, namun kisahnya nyaris tenggelam, tertutup oleh kepentingan politik pasca-perang. Apa yang sebenarnya terjadi di balik tembok Unit 731, dan mengapa dunia memilih diam?
Unit 731, yang resmi berdiri pada 1936 di bawah komando Jenderal Shiro Ishii, adalah wajah gelap dari sains militer Jepang. Beroperasi di kompleks seluas 150 bangunan dengan 3.000 personel, unit ini mampu menampung 600 tahanan sekaligus—tawanan perang, warga sipil China, hingga etnis minoritas yang dijadikan subjek eksperimen. Data dari National Library of Medicine menyebut ribuan orang tewas di Harbin saja, dengan jumlah korban total dari cabang-cabang lain program perang biologi Jepang sulit dipastikan. Tidak ada yang selamat dari eksperimen ini. Mereka yang tidak mati akibat infeksi sengaja, dibunuh untuk otopsi. Di hari-hari terakhir perang, semua tahanan yang tersisa dimusnahkan untuk menghapus jejak.
Eksperimen di Unit 731 bukan sekadar kejam—ia menembus batas kemanusiaan. Tahanan sengaja diinfeksi dengan patogen mematikan seperti pes, kolera, dan anthrax untuk menguji efektivitas senjata biologis. Ada pula bom khusus yang dirancang untuk menyebarkan partikel infeksius melalui kulit. Tidak berhenti di situ, para ilmuwan Jepang menguji ketahanan manusia terhadap suhu ekstrem, seperti pembekuan atau tekanan rendah, untuk memahami batas fisiologi tubuh. “Ini bukan sains, ini penyiksaan dengan jubah laboratorium,” kata sejarawan perang Asia, Dr. Lin Mei dari Universitas Peking, dalam sebuah wawancara baru-baru ini. Dokumen yang ditemukan pasca-perang mengungkap bahwa korban diperlakukan sebagai “log”—istilah Jepang untuk tahanan—bukan manusia.
Kepentingan Politik dan Perlindungan AS
Ketika Jepang menyerah pada 1945, kebenaran tentang Unit 731 mulai terkuak, namun jalan menuju keadilan penuh liku. Penyelidikan awal oleh Letnan Kolonel Arvo T. Thompson dari Amerika Serikat pada 1946 terhambat oleh minimnya informasi. Jenderal Shiro Ishii, otak di balik Unit 731, dengan sinis mengelak, menyebut perang biologis sebagai sesuatu yang “tidak manusiawi” dan “menodai kebajikan Kaisar.” Namun, dokumen-dokumen yang disembunyikan akhirnya berbicara. Pada Desember 1947, tim ilmuwan AS dari Kamp Detrick menerima laporan rinci dari kelompok Ishii, termasuk 8.000 slide patologi dan ratusan gambar berwarna hasil eksperimen.
Alih-alih menyeret para pelaku ke pengadilan, AS membuat keputusan kontroversial: memberikan kekebalan hukum kepada ilmuwan Unit 731, termasuk Ishii. Alasannya? Data perang biologis dianggap terlalu berharga bagi keamanan nasional AS, terutama untuk mencegahnya jatuh ke tangan Soviet di tengah tensi Perang Dingin. Laporan tim penyidik AS menyimpulkan bahwa “nilai data Jepang jauh lebih besar daripada penuntutan kejahatan perang.” Ini adalah keputusan pragmatis yang pahit: keadilan dikorbankan demi kepentingan strategis.
Keputusan ini menuai kritik tajam hingga hari ini. “AS pada dasarnya membeli data kotor dengan harga murah,” kata Prof. Hiroshi Tanaka, sejarawan dari Universitas Tokyo, dalam sebuah seminar daring pada 2024. Bagi China, yang kehilangan ribuan nyawa, perlindungan AS terhadap pelaku Unit 731 adalah pengkhianatan moral. Namun, di tengah dinamika geopolitik pasca-perang, suara korban tenggelam oleh kepentingan yang lebih besar.
Luka Sejarah yang Belum Sembuh
Unit 731 bukan hanya cerita tentang kekejaman masa lalu; ia adalah pengingat betapa rapuhnya etika dalam situasi perang. Di Harbin, situs bekas laboratorium kini menjadi museum, berdiri sebagai monumen bisu atas penderitaan ribuan korban. Pengunjung dapat melihat replika ruang eksperimen dan dokumen asli, meski banyak yang merasa hawa mencekam masih menyelimuti tempat itu. “Saya berdiri di sana, membayangkan jeritan yang tak pernah didengar dunia,” kata Li Wei, seorang turis China yang berkunjung pada awal 2025.
Di luar China, kisah Unit 731 jarang menjadi headline. Pendidikan sejarah di Jepang sendiri sering kali menghindari detail kelam ini, memicu perdebatan tentang bagaimana negara itu menghadapi masa lalunya. Sementara itu, di Barat, perhatian lebih banyak tertuju pada Holocaust atau kejahatan Nazi, meninggalkan Unit 731 sebagai catatan kaki dalam sejarah global. Namun, bagi keluarga korban—yang hingga kini tak pernah mendapat ganti rugi atau permintaan maaf resmi—luka ini masih menganga.
Data dari Japan Center for Historical Records menyebutkan bahwa setidaknya 12.000 orang menjadi korban langsung eksperimen Unit 731 dan cabang-cabangnya. Angka ini belum termasuk dampak tidak langsung dari penyebaran senjata biologis, seperti wabah pes di beberapa wilayah China. “Kita bicara tentang kejahatan sistematis yang dirancang dengan presisi militer,” kata Dr. Lin Mei. Namun, karena minimnya penuntutan, pelaku utama seperti Ishii hidup bebas hingga akhir hayatnya, meninggalkan pertanyaan: apakah keadilan pernah benar-benar ditegakkan?
Relevansi di Era Modern
Kisah Unit 731 bukan sekadar sejarah; ia relevan untuk masa kini. Di tengah kemajuan bioteknologi dan ancaman perang biologis modern—seperti kekhawatiran akan laboratorium senjata biologis di berbagai belahan dunia—etika sains kembali diuji. Organisasi seperti WHO terus mendorong pengawasan ketat terhadap penelitian berisiko tinggi, namun bayang-bayang Unit 731 mengingatkan bahwa tanpa komitmen global, sejarah bisa terulang.
Di Indonesia, kisah ini mungkin terasa jauh, tapi pendudukan Jepang di Nusantara (1942–1945) juga meninggalkan luka serupa, meski dalam skala berbeda. Romusha dan eksploitasi sumber daya manusia di masa itu menunjukkan bahwa ambisi imperial sering kali mengorbankan kemanusiaan. Mengingat Unit 731, kita diajak merenung: bagaimana memastikan sains dan teknologi melayani kesejahteraan, bukan kehancuran?
Hingga kini, Unit 731 tetap menjadi misteri yang belum sepenuhnya terpecahkan. Banyak dokumen hilang, dihancurkan, atau disembunyikan. Yang tersisa adalah kisah kelam tentang apa yang terjadi ketika sains kehilangan moral, dan ketika dunia memilih diam demi kepentingan politik. Di Harbin, di antara reruntuhan masa lalu, suara korban masih menanti untuk didengar.
(Artikel ini disusun berdasarkan dokumen sejarah dan laporan terkini. Informasi lebih lanjut dapat ditemukan di museum Unit 731 di Harbin.)
Related Keywords: Unit 731 Jepang, eksperimen perang biologi, kejahatan perang Jepang, Shiro Ishii, Perang Dunia II China, perlindungan AS Unit 731
