Kenapa Tidak Ada Jembatan yang Menghubungkan Jawa dengan Bali?
Pulau Jawa dan Pulau Bali hanya dipisahkan oleh Selat Bali yang lebarnya sekitar 2,4 kilometer di titik tersempit. Dari segi jarak, pembangunan jembatan Jawa-Bali sebenarnya bukanlah hal yang mustahil. Bahkan, sejak puluhan tahun lalu gagasan ini sudah berkali-kali muncul dalam wacana pembangunan nasional.
Namun, hingga kini, rencana besar tersebut tidak pernah benar-benar terwujud. Pertanyaan pun muncul: kenapa tidak ada jembatan yang menghubungkan Jawa dengan Bali?
Sejarah Wacana Jembatan Jawa-Bali
Ide pembangunan jembatan yang menghubungkan dua pulau besar ini bukan hal baru. Sejak era Presiden Soeharto, wacana pembangunan Jembatan Selat Bali sudah bergulir. Pada 2009, pemerintah kembali mewacanakan proyek ini dengan panjang sekitar 5,6 kilometer.
Rencana itu bahkan sempat masuk dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, setelah pergantian rezim dan evaluasi proyek infrastruktur nasional, rencana itu kembali menguap.
Faktor Teknis: Kondisi Alam Selat Bali
Selat Bali dikenal memiliki kondisi alam yang menantang. Arus laut di kawasan ini cukup kuat, ditambah kedalaman yang bervariasi. Dari sisi geologi, wilayah ini juga rawan gempa karena berada di jalur cincin api (ring of fire).
Membangun jembatan di atas wilayah yang rawan gempa dan tsunami jelas membutuhkan teknologi canggih serta biaya yang sangat besar. Risiko inilah yang membuat pemerintah beberapa kali menunda realisasi proyek tersebut.
Faktor Ekonomi: Biaya Fantastis
Membangun jembatan yang kokoh, tahan gempa, dan mampu menampung arus kendaraan antara Jawa dan Bali tentu membutuhkan dana luar biasa. Perkiraan biaya pernah disebut mencapai puluhan triliun rupiah.
Bagi pemerintah, prioritas infrastruktur lain seperti jalan tol, bandara, dan pelabuhan dianggap lebih mendesak. Selama masih ada alternatif transportasi seperti penyeberangan feri di Ketapang–Gilimanuk, kebutuhan jembatan dianggap belum terlalu mendesak secara ekonomi.
Faktor Sosial dan Budaya
Selain aspek teknis dan ekonomi, ada juga faktor sosial-budaya yang sering luput dibicarakan. Bali adalah pulau dengan nilai spiritual yang sangat kuat. Banyak tokoh budaya dan pemuka agama di Bali menyuarakan penolakan terhadap pembangunan jembatan.
Mereka khawatir jembatan Jawa-Bali akan membawa dampak besar terhadap keseimbangan sosial, arus urbanisasi, dan bahkan bisa mengganggu kesakralan Pulau Dewata.
“Bali bukan hanya destinasi wisata, tetapi pulau spiritual. Membuka akses selebar-lebarnya tanpa filter bisa mengubah tatanan budaya yang ada,” ujar salah satu tokoh masyarakat Bali dalam sebuah forum diskusi.
Faktor Politik: Proyek yang Selalu Tertunda
Pembangunan jembatan besar seperti ini tidak hanya soal teknis, tapi juga politik. Tiap kali pergantian pemerintahan, prioritas proyek infrastruktur ikut berubah. Jembatan Jawa-Bali sering disebut, tetapi selalu tergeser oleh proyek lain seperti Tol Trans Jawa, Tol Trans Sumatra, hingga Ibu Kota Nusantara (IKN).
Selain itu, tarik-menarik kepentingan antara pemerintah pusat, daerah, dan investor swasta membuat proyek ini semakin sulit direalisasikan.
Alternatif Transportasi: Feri dan Infrastruktur Laut
Saat ini, kebutuhan mobilitas antara Jawa dan Bali masih ditopang oleh penyeberangan Ketapang–Gilimanuk. Meski sering macet pada musim liburan, jalur feri tetap menjadi pilihan utama.
Beberapa pihak menilai modernisasi pelabuhan dan peningkatan kapasitas kapal jauh lebih murah dibanding membangun jembatan megah. Pemerintah pun cenderung mengambil opsi ini sebagai solusi jangka pendek.
Dampak Jika Jembatan Jadi Dibangun
Meski penuh tantangan, tak sedikit yang membayangkan dampak besar jika jembatan ini benar-benar berdiri. Arus logistik akan lebih cepat, biaya distribusi bisa ditekan, dan pariwisata di Bali akan semakin meningkat.
Namun, di sisi lain, risiko kemacetan, urbanisasi tak terkendali, dan tekanan pada ekosistem Bali juga perlu dipertimbangkan.
Penutup: Mimpi yang Belum Terwujud
Hingga kini, jembatan Jawa-Bali masih menjadi mimpi yang belum terwujud. Kombinasi faktor teknis, ekonomi, budaya, hingga politik membuat proyek ini terus tertunda.
Mungkin suatu saat teknologi dan kondisi politik-ekonomi akan memungkinkan proyek ini terwujud. Namun, untuk saat ini, penyeberangan feri masih menjadi penghubung utama antara dua pulau besar yang memiliki peran penting dalam kehidupan bangsa.
Ikuti terus analisis infrastruktur dan budaya hanya di beritasekarang.id.