Insentif Motor Listrik: Harapan Konsumen dan Produsen yang Masih Tertunda
Jakarta, 13 Oktober 2025 — Di tengah gencarnya kampanye kendaraan ramah lingkungan, insentif untuk pembelian motor listrik masih menjadi harapan yang belum terwujud di Indonesia. Astra Honda Motor (AHM), raksasa otomotif roda dua di Tanah Air, menilai kebijakan ini bukan hanya akan meringankan beban konsumen, tetapi juga memberikan dorongan besar bagi produsen untuk mempercepat transisi menuju mobilitas hijau. Namun, hingga penghujung 2025, kepastian kebijakan ini masih menggantung, menimbulkan tanya: kapan pemerintah akan mewujudkan janji ini?
Ahmad Muhibbuddin, General Manager Corporate Communication AHM, tak ragu menyuarakan antusiasme pihaknya terhadap insentif motor listrik. Dalam pernyataannya di Jakarta, Jumat (10/10), ia menegaskan bahwa kebijakan ini bisa menjadi katalis penting untuk mengerek minat masyarakat beralih dari motor berbahan bakar fosil ke motor listrik. “Insentif itu sangat berarti, baik untuk konsumen maupun produsen. Kami menanti langkah konkret dari pemerintah,” ujarnya dengan nada optimistis, namun tak menyembunyikan nada penantian yang panjang.
Bagi konsumen, insentif berarti harga motor listrik yang lebih terjangkau. Saat ini, motor listrik masih dianggap sebagai barang premium dengan banderol yang lebih tinggi dibandingkan motor konvensional. Pada 2024, pemerintah sempat memberikan insentif sebesar Rp7 juta per unit, yang terbukti mampu meningkatkan penjualan. Namun, kuota insentif itu habis pada Oktober 2024, dan hingga kini, belum ada kejelasan apakah program serupa akan dilanjutkan. Akibatnya, banyak calon pembeli menunda keputusan, sementara produsen seperti AHM harus berinovasi sendiri untuk menjaga pasar.
AHM, misalnya, telah mengambil langkah proaktif dengan memberikan diskon hingga puluhan juta rupiah untuk beberapa model motor listrik mereka. Langkah ini, menurut Muhibbuddin, adalah bentuk “insentif mandiri” untuk menarik minat konsumen. “Kami berusaha menjaga momentum, tapi insentif dari pemerintah jelas akan punya dampak lebih besar,” katanya. Diskon ini, meski membantu, tetap tak bisa menggantikan kebijakan insentif nasional yang memiliki daya jangkau lebih luas.
Di sisi lain, insentif juga krusial bagi produsen. Dengan adanya dukungan pemerintah, perusahaan otomotif bisa lebih leluasa berinvestasi dalam pengembangan teknologi, memperluas lini produksi, dan meningkatkan infrastruktur pendukung seperti stasiun pengisian daya. Indonesia, dengan pasar sepeda motor terbesar di Asia Tenggara, memiliki potensi besar untuk menjadi pusat produksi motor listrik. Namun, tanpa kebijakan yang jelas, langkah menuju visi ini terasa lamban.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto angkat bicara soal keterlambatan ini. Dalam pernyataannya di Karawang, Jawa Barat, Kamis (9/10), ia menyebut bahwa insentif motor listrik masih terkendala masalah teknis penganggaran. “Ini soal mekanisme anggaran,” ujarnya singkat. Airlangga memperkirakan kebijakan ini baru bisa direalisasikan pada 2026, karena hingga kini belum ada pembahasan konkret di tingkat pemerintah. Pernyataan ini, meski realistis, tak pelak mengecewakan pelaku industri dan konsumen yang berharap akselerasi lebih cepat.
Keterlambatan ini juga mencerminkan tantangan besar dalam transisi energi di Indonesia. Motor listrik dianggap sebagai salah satu kunci untuk mengurangi emisi karbon dan ketergantungan pada bahan bakar fosil. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan bahwa sektor transportasi menyumbang sekitar 30 persen dari total emisi karbon nasional, dengan sepeda motor sebagai kontributor utama. Dengan lebih dari 120 juta unit sepeda motor di jalanan Indonesia, peralihan ke motor listrik bisa memberikan dampak lingkungan yang signifikan.
Namun, tantangan tak hanya soal harga. Infrastruktur pengisian daya yang masih terbatas, terutama di luar kota besar, menjadi hambatan besar. Selain itu, kesadaran masyarakat tentang manfaat motor listrik masih perlu ditingkatkan. “Banyak yang masih ragu soal daya tahan baterai atau biaya perawatan,” ungkap seorang penjual motor listrik di Jakarta Barat, yang mengaku penjualannya menurun setelah insentif 2024 berakhir. Edukasi dan insentif, menurutnya, harus berjalan beriringan untuk mengubah persepsi publik.
Di tengah ketidakpastian ini, AHM tetap optimistis. Mereka terus mengembangkan model motor listrik baru, seperti seri EM1 e: dan SC e:, yang menawarkan desain modern dan teknologi ramah lingkungan. Langkah ini menunjukkan komitmen industri untuk tetap melangkah, meski tanpa dukungan penuh dari kebijakan pemerintah. “Kami percaya motor listrik adalah masa depan, dan kami ingin jadi bagian dari perubahan itu,” tegas Muhibbuddin.
Bagi masyarakat Indonesia, motor bukan sekadar alat transportasi, tapi bagian dari gaya hidup dan penopang ekonomi keluarga. Dari ojek daring hingga pedagang keliling, sepeda motor adalah tulang punggung mobilitas rakyat. Insentif motor listrik, jika digulirkan kembali, tak hanya akan membuat kendaraan ini lebih terjangkau, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru, mulai dari produksi lokal hingga lapangan kerja di sektor teknologi hijau.
Sementara pemerintah masih bergulat dengan anggaran, harapan konsumen dan produsen kini tertumpu pada 2026. Pertanyaannya, akankah Indonesia mampu mengejar ketertinggalan dalam revolusi kendaraan listrik, atau justru terus tertinggal di belakang negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam, yang telah melaju kencang dengan kebijakan serupa? Yang jelas, langkah konkret tak bisa lagi ditunda. Masa depan hijau sudah di depan mata, dan Indonesia harus siap melaju.
