MakananViral

Seblak Goes International: Ketika Rasa Pedas dan Gurih Menjelajah Menuju Thailand

Indonesia memiliki kekayaan kuliner yang sangat kaya, dan salah satu hidangan populer yang dalam beberapa tahun terakhir mencuri perhatian adalah seblak. Awalnya dikenal sebagai jajanan khas Bandung berkuah pedas dengan bahan utama kerupuk basah, kini seblak telah melampaui batas-batas geografis Indonesia — bahkan mulai merambah ke Thailand dan menarik rasa ingin tahu masyarakat di sana.

Keunikan seblak terletak pada paduan rasa pedas, gurih, dan sedikit asin yang berpadu dengan tekstur kenyal dari kerupuk basah serta tambahan topping seperti bakso, sosis, ceker, dan sayuran. Fenomena “viral” seblak di media sosial sering mengangkat cerita tentang bagaimana cita rasa Indonesia bisa mengejutkan lidah orang luar negeri — termasuk masyarakat Thailand.

Dari Bandung ke Bangkok: Jejak Seblak di Negeri Gajah Putih

Beberapa pedagang Indonesia yang merantau ke Thailand membawa serta cita rasa nusantara sebagai bagian dari usaha mereka untuk memperkenalkan masakan tanah air. Di kota-kota besar maupun kawasan pemukiman komunitas Indonesia di Thailand, warung seblak mulai bermunculan. Mereka menyajikan menu yang mendekati versi orisinal, lengkap dengan bumbu khas — terkadang disesuaikan agar tidak terlalu ekstrem bagi lidah lokal.

Pelaku usaha kuliner mengakui bahwa tantangan utama adalah menjaga keseimbangan rasa agar tidak terlalu pedas, sekaligus tetap mempertahankan karakter seblak yang “menggigit”. Beberapa warung bahkan menawarkan level pedas dalam beberapa tingkatan, dari mild hingga sangat pedas, agar bisa dinikmati oleh orang Thailand yang belum terbiasa dengan makanan pedas ekstrem ala Indonesia.

Media sosial turut berperan besar dalam menyebarkan eksistensi seblak Thailand. Foto-foto mangkuk seblak lengkap dengan topping menggoda — kerupuk kenyal, saus meleleh, dan taburan cabai — dibagikan netizen dan sering menjadi viral di platform seperti TikTok, Instagram, dan Facebook. Caption seperti “seblak Thailand edition” atau “seblak pedas ala Indonesia di Bangkok” memancing keingintahuan dan eksperimen kuliner.

Tren, Budaya, atau Jelajah Kuliner?

Seblak di Thailand tidak sekadar sekadar tren sementara. Ada unsur budaya kuliner yang bergerak bersama migrasi masyarakat dan ekspansi jaringan kuliner. Pertukaran antarbudaya melalui makanan terjadi ketika pemuda Indonesia yang merantau tetap menggenggam identitas mereka lewat rasa — sambil memperkenalkan kepada masyarakat lokal bahwa Indonesia punya warisan gastronomi yang luas.

Namun demikian, untuk menjadi bagian dari rutinitas kuliner lokal di Thailand, seblak perlu melewati beberapa fase adaptasi:

  1. Penyesuaian Rasa
    Lidah Thailand umumnya terbiasa pada rasa asam-manis, pedas yang terukur, dan penggunaan rempah yang berbeda. Untuk memikat hati lokal, beberapa warung seblak mesti “menurunkan” intensitas cabai atau memadukan saus ala Thailand agar lebih familiar.
  2. Bahan Baku Lokal & Ketersediaan
    Beberapa bahan seperti kerupuk mentah, bumbu seblak tertentu, atau topping khas Indonesia mungkin sulit diperoleh di pasar lokal Thailand. Maka pedagang sering mencari pengganti lokal yang sejenis atau melakukan import kecil-kecilan untuk bahan penting.
  3. Strategi Pemasaran & Branding
    Warung seblak perlu “menjual cerita” selain makanan fisiknya. Nama restoran, kemasan, konten media sosial, serta testimoni pembeli lokal menjadi bagian dari strategi memperkenalkan seblak kepada konsumen baru. Menggunakan kata “Indonesian Street Food” atau “Pedas Nusantara” sering digunakan sebagai branding agar menarik perhatian konsumen asing.
  4. Kolaborasi dan Inovasi
    Untuk mempertahankan relevansi, beberapa warung menggabungkan unsur lokal Thailand atau memasukkan varian fusion — misalnya seblak pedas dengan topping kari Thailand, atau seblak kuah asam-manis ala soup Tom Yum. Inovasi seperti ini membantu menjembatani selera kedua budaya.

Respon Publik Thailand & Tantangan Penerimaan

Tidak semua orang langsung menyukai cita rasa “all-in” ala seblak Indonesia. Ada yang terkejut oleh kepedasan yang intens, ada pula yang besar rasa penasaran dan akhirnya jadi penggemar. Dalam beberapa ulasan makanan Thailand, sebagian pembeli memberikan rating 4–5 bintang setelah mencoba varian sedang. Mereka mengomentari bahwa rasa pedasnya “menyegarkan” dan “unik” dibanding makanan pedas lokal.

Namun, tantangan tetap ada:

  • Harga
    Beberapa seblak impor atau warung Indonesia menetapkan harga yang lebih tinggi karena ongkos bahan atau branding impor. Hal ini membuat seblak menjadi kuliner premium dibanding makanan jalanan lokal yang murah meriah.
  • Konsistensi Rasa
    Jika suatu warung gagal menjaga kualitas — terlalu pedas di satu menu, kurang bumbu di menu lain — konsumen bisa kecewa dan reputasi sulit dipulihkan. Karena lidah konsumen luar negeri sangat sensitif terhadap “kegagalan rasa”.
  • Perizinan & Regulasi
    Usaha makanan asing di Thailand harus mematuhi regulasi makanan, lisensi impor bahan, serta standar sanitasi dan halal (terutama untuk komponen daging atau topping). Pedagang perlu memastikan bahan baku dan prosedur produksi sesuai standar lokal.
  • Pengaruh Budaya Lokal
    Konsumen Thailand mungkin lebih memilih makanan lokal yang familiar jika makanan asing terlalu ekstrem. Oleh sebab itu, seblak perlu tampil dengan “pintu masuk” yang ramah — misalnya versi mild, porsi kecil sebagai camilan, atau integrasi dengan menu fusion.

Kisah Pengusaha: Dari Hobi Menjadi Kuliner Viral

Salah satu kisah menarik datang dari seorang warga Indonesia yang tinggal di Bangkok. Awalnya hanya ingin menghadirkan rasa rumah lewat semangkuk seblak di depan kost. Namun karena resepnya otentik dan digemari teman-teman sesama perantau, warung kecil ini mulai ramai. Ia lalu mengunggah foto dan video proses memasak seblak di media sosial, yang kemudian menarik pengunjung Thailand.

Dalam beberapa bulan, warung ini berkembang dari satu etalase menjadi kios kecil di pasar malam lokal. Tak sedikit pelanggan Thailand ikut memesan ulang karena ingin mencoba “seblak pedas Bandung” — memberi kesaksian viral via TikTok. Meski skala usahanya belum besar, tapi cerita semacam ini menunjukkan bahwa makanan sederhana bisa jadi jembatan budaya dan gerbang kuliner lintas negara.

Potensi Ekspor Kuliner & Peta Persaingan Global

Fenomena seblak yang menyentuh lidah Thailand bisa menjadi pelopor ide bahwa makanan jalanan Indonesia (street food) memiliki potensi ekspor. Apabila dikelola dengan brand, standardisasi resep, kualitas bahan, dan strategi pemasaran internasional, seblak bisa menjadi salah satu ikon kuliner nusantara di kancah Asia Tenggara dan Asia secara umum.

Tentu, pesaing di ranah kuliner juga banyak: makanan pedas khas Korea (ramyeon Korea), masakan Thailand sendiri (Tom Yum, Pad Thai), makanan India (curry pedas), hingga kuliner China pedas seperti Sichuan — semua punya tempat di selera internasional. Namun, kekhasan seblak di tekstur kerupuk basah + kuah pedas + topping yang fleksibel bisa jadi keunggulan unik.

Dalam skala global, masuknya seblak ke Thailand dapat menjadi titik awal. Jika sukses, kemudian bisa diperluas ke Singapura, Malaysia, Filipina, Taiwan, atau bahkan Jepang dan Korea. Tentunya, harus disokong riset pasar lokal, pengaturan harga, dan strategi distribusi bahan baku.

Kesimpulan: Seblak sebagai Jembatan Rasa & Budaya

Fenomena seblak yang mulai merambah Thailand bukan sekadar tren sesaat. Ia menunjukkan bagaimana cita rasa lokal dapat berevolusi menjadi ekspresi budaya global. Dengan adaptasi rasa, inovasi, dan strategi pemasaran yang tepat, seblak bisa membuktikan bahwa kuliner Indonesia punya kekuatan tak hanya nasional, melainkan kontinental.

Kiranya, di balik mangkuk berisi kerupuk kenyal dan kuah pedas itu, tersembunyi potensi besar: bahwa lewat makanan rakyat, kita mampu mengenalkan identitas, mendekatkan kultur, dan mencuri simpati lidah dunia.