Perang Tarif Antara AS dan China Memanas, IMF Peringatkan Risiko Pelambatan Ekonomi Dunia
Ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China kembali memuncak ketika kedua negara saling mengenakan tarif tambahan dan langkah proteksionis lainnya. Menurut laporan BeritaSatu, meningkatnya konflik tarif ini mendapat sorotan keras dari IMF, yang memperingatkan bahwa eskalasi konflik dagang itu dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi global hingga 2026.
Perang tarif yang semakin sengit ini juga memperkuat kekhawatiran pasar global — dari gangguan rantai pasokan, ketidakpastian investasi, hingga tekanan bagi negara pemilik ekonomi terbuka, termasuk Indonesia.
Akar Ketegangan Tarif & Langkah Terbaru
Konflik tarif antara AS dan China ini bukan fenomena baru — sudah berlangsung selama bertahun-tahun — namun gelombang baru ini dipicu langkah-langkah eskalasi tarif dan ancaman yang makin agresif:
- AS dilaporkan mempertimbangkan pengenaan ulang tarif 100% pada barang-barang impor dari China jika negosiasi gagal, sebagai langkah balasan atas kebijakan China yang dianggap membatasi ekspor bahan baku dan komponen.
- China merespons dengan retorika kuat; menyebut langkah AS sebagai intimidasi dagang dan berjanji akan “fight to the end” dalam sengketa perdagangan.
- Strategi perang tarif ini juga mencakup kebijakan pelabuhan, bea masuk, pembatasan ekspor produk-produk strategis (seperti mineral langka), dan reorganisasi rantai pasokan global.
Imbas dari kebijakan ini terasa luas: investor ragu melakukan ekspansi, perusahaan manufaktur mengamankan cadangan suku cadang, dan negara-negara mitra dagang ikut ditekan oleh naiknya harga bahan baku dan hambatan ekspor.
Peringatan IMF & Potensi Dampak Global
IMF menyoroti bahwa jika perang tarif ini terus berlanjut dengan skala besar, maka ekonomi global bisa melambat secara nyata. Pertumbuhan dunia yang selama ini sudah rentan oleh dampak konflik geopolitik, pandemi, dan ketidakpastian pasar, akan semakin tertekan.
Beberapa potensi dampak jangka menengah hingga panjang:
- Pertumbuhan Global Terpangkas
Negara-negara maju maupun berkembang kemungkinan mengalami perlambatan di ekspor, investasi, dan konsumsi. - Tekanan Inflasi & Biaya Produksi
Tarif tinggi dan hambatan impor akan meningkatkan biaya bahan baku, yang bisa diteruskan ke konsumen melalui kenaikan harga barang jadi. - Gangguan Rantai Pasok Internasional
Banyak perusahaan tergantung pada rantai pasok lintas negara. Eskalasi proteksionisme bisa memaksa perusahaan menyusun ulang jaringan pasokan (reshoring atau China+1). - Ketidakpastian Investasi
Investor global cenderung berhati-hati saat menghadapi kebijakan proteksionis—proyek baru banyak ditunda atau dibatalkan. - Tekanan bagi Negara Berkembang
Negara-negara yang ekonominya bergantung pada ekspor komoditas atau manufaktur akan merasakan dampak lebih berat. Nilai tukar, cadangan devisa, dan arus modal asing menjadi rentan.
Implikasi Bagi Indonesia
Sebagai negara terbuka dan mitra dagang ke dua ekonomi besar dunia, Indonesia tidak bisa luput dari efek perang tarif ini. Beberapa implikasi kunci:
- Penurunan Permintaan Ekspor
Produk-produk Indonesia yang banyak diekspor ke AS atau China—seperti produk elektronik, tekstil, komoditas—berpotensi terkena hambatan permintaan atau tarif tambahan dari sisi mitra. - Kenaikan Biaya Impor
Jika beban tarif atau hambatan ekspor naik, perusahaan yang bergantung pada bahan baku impor akan mengalami cost push inflation, memicu kenaikan harga domestik. - Tekanan Rupiah & Kapital Asing
Ketidakpastian global bisa mendorong arus modal keluar, menekan nilai tukar rupiah dan meningkatkan volatilitas pasar keuangan dalam negeri. - Pertumbuhan Terdorong Melambat
Dalam studi Kementerian Pertahanan / lembaga riset nasional, dampak perang dagang semacam ini bisa mengurangi pertumbuhan Indonesia antara 0,3-0,5 poin persentase. - Peluang Relokasi Industri
Namun di balik tekanan, ada peluang: perusahaan-perusahaan manufaktur global mungkin mencari lokasi alternatif selain China. Indonesia dapat menjadi pilihan strategis (strategi “China+1”) jika regulasi, insentif, dan infrastruktur mendukung.
Strategi & Rekomendasi Kebijakan
Untuk menghadapi gejolak akibat perang tarif AS–China ini, beberapa strategi penting bisa diterapkan oleh pemerintah Indonesia dan pelaku ekonomi:
- Diversifikasi Pasar Ekspor
Kurangi ketergantungan terhadap satu atau dua negara besar — buka pasar ekspor baru di Asia Selatan, Afrika, Timur Tengah, dan Asia Tenggara. - Penguatan Industri Lokal / Hilirisasi
Tingkatkan kapasitas produksi dalam negeri dan upaya hilirisasi agar nilai tambah ekonomi tidak terbawa keluar negeri. - Stabilisasi Ekonomi Domestik
Kebijakan fiskal & moneter yang responsif untuk menjaga inflasi, suku bunga, dan nilai tukar tetap stabil. - Insentif Investasi & Kemudahan Regulasi
Perbaiki iklim bisnis, pemangkasan birokrasi, insentif pajak, dan kemudahan izin guna menarik investor global yang ingin relokasi produksi. - Kebijakan Industri Strategis
Fokus pada sektor-sektor strategis seperti teknologi tinggi, elektronik, bahan baku kritis, dan energi terbarukan agar ketahanan ekonomi jangka panjang terjaga. - Kolaborasi Regional & Diplomasi Ekonomi
Perkuat kerja sama di ASEAN dan blok ekonomi lain untuk memperluas jaringan perdagangan dan memitigasi dampak konflik bilateral besar.

