Pengusaha Batu Bara Khawatir Bisnis Makin Tertekan karena Rencana Bea Keluar
Jakarta — Pelaku usaha batu bara di Indonesia mengungkap kecemasan mendalam terhadap rencana pengenaan bea keluar (export duty) untuk batu bara. Mereka menilai beban tambahan ini akan sangat menggerus margin keuntungan, terutama di tengah kondisi pasar global yang belum sepenuhnya pulih.
Apa Itu Rencana Bea Keluar Batu Bara?
Gagasan mengenakan bea keluar atas batu bara kembali mengemuka sebagai salah satu upaya pemerintah untuk menambah penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Rencana ini dipelajari bersama oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dan diperkirakan akan berlaku mulai 2026 dengan tarif “fleksibel” menyesuaikan harga batu bara global.
Menurut Wamen ESDM Yuliot Tanjung, bea keluar harus dirancang agar “adil.” Ia menekankan bahwa pungutan ini bisa sangat menyiksa bila diterapkan saat harga batu bara sedang rendah.
Tekanan Besar bagi Pengusaha
Beban Operasional Bertambah
Para pengusaha tambang menilai kebijakan ini sangat membebani operasional. Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) menyatakan bahwa perusahaan tambang sudah harus menanggung royalti batu bara, dan penambahan bea keluar dapat memperkecil margin keuntungan, terutama untuk produsen dengan batu bara berkualitas rendah (low-calorie).
Daya Saing Ekspor Terancam
PT Bukit Asam (PTBA), salah satu pemain besar batu bara dalam negeri, menyatakan bahwa bea keluar dapat menggerus daya saing batu bara Indonesia di pasar ekspor. Bila tarif export duty terlalu tinggi, eksportir bisa kehilangan posisi di pasar global.
Keuntungan yang Tidak Pasti
Kondisi pasar batu bara dunia saat ini dilaporkan masih lesu. Pakar pun memperkirakan beban bea keluar akan kontraproduktif jika dikenakan pada saat permintaan turun.
Salah satu tokoh pengusaha, Arsal Ismail (Dirut PTBA), meminta agar pemerintah meninjau ulang kebijakan bea keluar ini. Menurutnya, keputusan tersebut harus mempertimbangkan situasi pasar saat ini — yaitu harga batu bara yang sedang tidak stabil.
Respons dari Sektor Batubara
RMK Energy, perusahaan batu bara lain, turut menyuarakan kekhawatiran terkait bea keluar dan perubahan kebijakan RKAB (Rencana Kerja Anggaran Biaya) yang direncanakan kembali tiap tahun. Menurut Direktur Utama Vincent Saputra, bea keluar bisa menekan margin saat harga batu bara turun, sementara RKAB tahunan membuat perencanaan investasi menjadi sulit.
Sementara itu, pengamat teknikal tambang, seperti Ketua BK Tambang Persatuan Insinyur Indonesia, Rizal Kasli, menyatakan bahwa pemerintah perlu melibatkan pelaku industri dalam perumusan kebijakan ini agar dampak negatif bisa dikurangi.
Risiko untuk Transisi Energi
Isu bea keluar ini juga berdampak pada upaya transisi energi perusahaan batu bara. Berdasarkan laporan Energy Shift Institute (ESI), beban finansial tambahan membuat perusahaan makin mengecilkan niat melakukan diversifikasi atau investasi ke energi baru ramah lingkungan.
Dengan margin yang lebih tipis dan ketidakpastian regulasi, perusahaan batu bara menghadapi dilema berat antara terus mengandalkan bisnis batu bara lama atau mengambil risiko beralih ke model energi baru dengan potensi pengembalian jangka panjang.
Tantangan bagi Pemerintah
Dari perspektif pemerintah, bea keluar merupakan cara untuk menambah penerimaan negara pada masa ketidakpastian ekonomi global. Namun, menurut pelaku industri, kebijakan ini harus cermat agar tidak menghancurkan sektor batu bara yang masih menjadi salah satu kontributor penting PNBP dan ekspor.
Beberapa pihak menyerukan skema “sharing” atau fleksibel: ketika harga batu bara tinggi, tarif bea keluar dinaikkan; tetapi saat harga rendah, tarif bisa dikurangi atau ditiadakan. Model seperti ini akan lebih adil dan tidak membunuh bisnis tambang.
Implikasi untuk Industri dan Ekonomi Lokal
- Pengusaha Tambang: Mereka harus mempersiapkan strategi biaya yang baru, termasuk menghitung beban bea keluar dalam bisnis ekspor.
- Daya Saing Ekspor: Bila bea keluar terlalu tinggi, perusahaan tambang bisa kehilangan kompetitivitas di pasar internasional.
- Transisi Energi: Tekanan finansial tambahan bisa menunda investasi ke energi bersih.
- Pendapatan Negara: Pemerintah harus menyeimbangkan antara penerimaan jangka pendek dan keberlanjutan industri batu bara sebagai sumber devisa.
Kesimpulan
Wacana pengenaan bea keluar batu bara telah menimbulkan gelombang kekhawatiran di kalangan pengusaha tambang. Mereka khawatir kebijakan ini justru akan memberatkan usaha, menekan margin, dan mengurangi daya saing ekspor — terutama di tengah lesunya harga batu bara global.
Sementara itu, pemerintah menyatakan akan merancang kebijakan secara fleksibel, menyesuaikan beban bea keluar dengan kondisi pasar. Namun, bagi pelaku industri, aspek keadilan dan kesinambungan bisnis harus menjadi prioritas agar tidak menimbulkan kehancuran sektor tambang.
Dalam konteks transisi energi dan pembangunan berkelanjutan, keputusan mengenai bea keluar batu bara menjadi salah satu titik krusial: apakah menjadi alat fiskal semata, atau bagian dari strategi jangka panjang yang juga mempertimbangkan stabilitas industri dan iklim investasi nasional.

