BeritaEkonomi

Polemik Agraria Danau Toba: Luhut Binsar Pandjaitan Tepis Tegas Isu Kepemilikan di PT Toba Pulp Lestari

JAKARTA, beritasekarang.id – Nama Luhut Binsar Pandjaitan seolah tidak pernah benar-benar lepas dari pusaran diskursus publik, baik dalam kapasitasnya sebagai pejabat tinggi negara maupun sebagai tokoh bisnis yang berpengaruh. Kali ini, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) tersebut kembali menjadi sorotan terkait isu lama yang terus bergaung di tanah Sumatera Utara: kepemilikan saham dan kendali atas PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL). Dalam sebuah pernyataan terbaru yang disampaikan untuk merespons tudingan publik, Luhut secara tegas membantah bahwa dirinya adalah pemilik atau pengendali perusahaan bubur kertas yang kerap bersitegang dengan masyarakat adat di kawasan Danau Toba tersebut.

Klarifikasi ini bukan sekadar bantahan korporasi biasa. Ia hadir di tengah memanasnya kembali isu lingkungan dan hak ulayat yang melibatkan perusahaan-perusahaan ekstraktif di lingkar Danau Toba. Pernyataan Luhut ini menjadi antitesis dari narasi yang selama bertahun-tahun berkembang di akar rumput dan sebagian kalangan aktivis lingkungan, yang kerap mengasosiasikan operasional TPL dengan pengaruh politik dan bisnis sang jenderal purnawirawan.

Menelusuri Jejak Bantahan dan Fakta Korporasi

Dalam keterangannya, Luhut menegaskan posisi batas demarkasi yang jelas antara dirinya dengan entitas PT Toba Pulp Lestari. Ia menyatakan tidak memiliki kepemilikan saham langsung yang menjadikannya pemilik manfaat (beneficial owner) ataupun pengendali kebijakan perusahaan tersebut. Pernyataan ini dikeluarkan untuk meluruskan apa yang disebutnya sebagai kesimpangsiuran informasi yang tendensius dan menyudutkan reputasinya.

Secara historis, kaitan nama Luhut dengan TPL memang sering ditarik melalui PT Toba Sejahtra, sebuah grup bisnis yang ia dirikan. Publik mencatat bahwa PT Toba Sejahtra memiliki porsi saham di TPL. Namun, dalam berbagai kesempatan sebelumnya, Luhut kerap menjelaskan bahwa kepemilikan saham Toba Sejahtra di TPL adalah minoritas, dan ia sendiri telah lama melepaskan jabatan manajerial di perusahaan-perusahaan bisnisnya sejak menjabat di pemerintahan, meskipun kepemilikan saham pasif mungkin masih tercatat.

Bantahan kali ini memiliki bobot politik yang signifikan mengingat posisi strategis Luhut di pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Sebagai Ketua DEN, integritas dan independensi Luhut dari konflik kepentingan bisnis menjadi sorotan tajam. Tuduhan kepemilikan di perusahaan yang memiliki rekam jejak konflik sosial tinggi seperti TPL tentu dapat menjadi beban liabilitas bagi citra pemerintahan yang sedang fokus pada percepatan ekonomi dan stabilitas sosial.

Sejarah Konflik dan Bayang-Bayang Indorayon

Untuk memahami mengapa bantahan Luhut ini begitu krusial, kita harus membedah anatomi konflik yang menyelimuti PT Toba Pulp Lestari. Perusahaan ini bukanlah entitas baru yang lahir kemarin sore. Ia adalah reinkarnasi dari PT Inti Indorayon Utama, sebuah perusahaan yang pada era Orde Baru sempat ditutup oleh Presiden Habibie karena protes keras masyarakat terkait dampak lingkungan, sebelum akhirnya diizinkan beroperasi kembali dengan nama baru.

Jejak langkah TPL di tanah Batak diwarnai dengan residu konflik yang tak kunjung tuntas. Isu utamanya berkutat pada tumpang tindih lahan konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) perusahaan dengan wilayah adat yang diklaim oleh masyarakat lokal. Insiden bentrokan antara keamanan perusahaan dengan petani kemenyan atau warga adat kerap menghiasi halaman depan surat kabar nasional.

Dalam konteks inilah nama Luhut sering terseret. Bagi masyarakat yang berkonflik, sulit memisahkan kekuatan korporasi besar yang beroperasi di wilayah tersebut dari figur-figur kuat di Jakarta yang dianggap memberikan “perlindungan politik”. Bantahan Luhut, dengan demikian, adalah upaya untuk memutus rantai asumsi tersebut. Ia ingin menegaskan bahwa persoalan hukum dan sosial yang dihadapi TPL adalah murni urusan korporasi dengan hukum negara, tanpa ada campur tangan atau perlindungan personal darinya.

Tanggung Jawab Korporasi vs Persepsi Publik

Namun, dalam lanskap komunikasi publik di era keterbukaan informasi, membantah secara verbal seringkali tidak cukup untuk memadamkan skeptisisme. Publik, khususnya kalangan masyarakat sipil yang kritis, cenderung melihat struktur kepemilikan perusahaan melalui kacamata yang lebih kompleks—bukan hanya siapa yang namanya tertulis di akta notaris, tetapi siapa yang memiliki pengaruh de facto.

Para pengamat ekonomi politik menilai bahwa langkah Luhut untuk “cuci tangan” dari TPL adalah langkah taktis yang diperlukan. Jika ia terus diasosiasikan dengan perusahaan tersebut, setiap insiden lingkungan atau konflik lahan di Danau Toba akan langsung dialamatkan ke pintu kantornya di Jakarta. Hal ini tentu tidak produktif bagi agenda kerjanya yang lebih luas di tingkat nasional.

Meski demikian, tantangan pembuktian tetap ada. Transparansi mengenai siapa sebenarnya pengendali utama TPL dan bagaimana struktur kepemilikan saham yang berlapis-lapis (layered ownership) bekerja, menjadi kunci untuk memvalidasi bantahan Luhut. Tanpa transparansi data yang radikal, persepsi publik bahwa ada “orang kuat” di belakang TPL akan sulit hilang, terlepas dari seberapa keras bantahan itu diteriakkan.

Implikasi bagi Iklim Investasi dan Lingkungan

Terlepas dari benar atau tidaknya kepemilikan Luhut, polemik ini mencerminkan masalah struktural yang lebih besar dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Konflik antara korporasi besar dan masyarakat adat di Sumatera Utara adalah mikrokosmos dari tantangan investasi di Indonesia: kepastian hukum lahan yang lemah dan pengabaian terhadap hak-hak komunitas lokal.

Pemerintah, dengan Luhut sebagai salah satu motor penggerak ekonominya, memiliki pekerjaan rumah besar. Mereka harus memastikan bahwa investasi—termasuk di sektor pulp and paper—tidak dibangun di atas fondasi konflik sosial yang rapuh. Bantahan Luhut harus dilihat sebagai momentum bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap izin-izin konsesi di sekitar Danau Toba. Apakah operasional TPL selama ini sudah sesuai dengan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) yang sering digadang-gadang Luhut di forum internasional?

Jika Luhut benar-benar tidak memiliki kepentingan di TPL, maka seharusnya tidak ada hambatan psikologis maupun politis bagi negara untuk menindak tegas perusahaan tersebut jika terbukti melanggar aturan lingkungan atau menyerobot tanah adat. Publik kini menanti, apakah klarifikasi ini akan diikuti dengan penegakan hukum yang lebih objektif di lapangan, ataukah konflik di tanah Toba akan tetap menjadi bara dalam sekam yang abadi.

Pada akhirnya, bagi masyarakat di pesisir Danau Toba, siapa pemilik saham TPL di atas kertas mungkin tidak terlalu penting dibandingkan dengan pertanyaan eksistensial mereka: apakah tanah leluhur dan hutan kemenyan mereka bisa selamat dari ekspansi industri eukaliptus? Jawaban atas pertanyaan inilah yang akan menentukan warisan sejarah dari para pemimpin bangsa, termasuk Luhut Binsar Pandjaitan.