Serangan Brutal di Tengah Festival Keagamaan
BeritaSekarang.id — Dunia kembali dikejutkan oleh kekerasan di Myanmar.
Pada Rabu malam (9/10/2025), militer Myanmar melancarkan serangan udara di Negara Bagian Shan yang menewaskan sedikitnya 40 warga sipil, termasuk anak-anak dan biksu, saat berlangsung festival Buddha Thadingyut di sebuah biara.
Ledakan besar terjadi sekitar pukul 20.00 waktu setempat, ketika warga menyalakan lilin perayaan.
Dua bom udara dijatuhkan oleh jet tempur junta, menghancurkan biara dan rumah-rumah di sekitarnya.
“Kami mendengar dua ledakan keras. Semua orang berlari, tapi tidak ada tempat untuk berlindung,” ujar Ko Lwin, relawan medis di lokasi, dikutip dari Kompas.com dan The Irrawaddy.
Puluhan Korban dan Biara yang Hancur Total
Menurut National Unity Government (NUG) — pemerintahan sipil tandingan — sedikitnya 40 orang tewas dan 50 luka-luka.
Korban termasuk biksu, perempuan, dan anak-anak yang sedang melakukan ritual keagamaan.
Banyak di antara korban ditemukan di halaman biara yang rata dengan tanah.
Foto satelit dan video dari warga menunjukkan kerusakan luas dan puing bangunan terbakar.
Tim penyelamat setempat kesulitan mengevakuasi korban karena militer menutup akses udara dan jalan utama menuju lokasi.
“Mereka menyerang warga sipil di tempat ibadah. Ini kejahatan perang yang nyata,” kata juru bicara NUG, Kyaw Zaw.
Bantahan dari Junta Militer
Dalam pernyataan resmi yang dimuat media pemerintah Global New Light of Myanmar, militer membantah tuduhan menargetkan warga sipil.
Mereka mengklaim bahwa serangan diarahkan ke kelompok bersenjata etnis Ta’ang National Liberation Army (TNLA) yang, menurut mereka, “bersembunyi di area biara.”
“Militer hanya menyerang target sah yang digunakan pemberontak untuk menyimpan senjata,” tulis pernyataan tersebut.
Namun, laporan lapangan menunjukkan mayoritas korban adalah warga sipil.
Amnesty International menilai pernyataan junta “tidak berdasar” dan menyerukan penyelidikan independen oleh PBB.
“Serangan terhadap warga sipil di acara keagamaan adalah pelanggaran berat hukum internasional,” tegas Ming Yu Hah, Wakil Direktur Amnesty untuk Asia Tenggara.
Reaksi Dunia Internasional
PBB, Amerika Serikat, dan Uni Eropa mengecam keras insiden ini.
Juru bicara Sekjen PBB, Stéphane Dujarric, menyebut serangan tersebut “tidak manusiawi dan bertentangan dengan semua prinsip kemanusiaan.”
Dewan Keamanan PBB dikabarkan tengah membahas langkah lanjutan, termasuk kemungkinan sanksi tambahan terhadap pejabat junta.
Sementara itu, ASEAN kembali mengeluarkan pernyataan “keprihatinan mendalam”, namun belum menunjukkan langkah konkret.
Pengamat menilai sikap pasif ASEAN memperlihatkan lemahnya posisi regional dalam menekan junta Myanmar.
Konteks Konflik yang Tak Kunjung Reda
Sejak kudeta Februari 2021, Myanmar telah terjebak dalam perang saudara de facto.
Kelompok perlawanan sipil bergabung dengan milisi etnis di berbagai wilayah.
Negara Bagian Shan, tempat kejadian berlangsung, dikenal sebagai basis kuat TNLA — kelompok etnis Ta’ang yang menolak dominasi militer pusat.
Data dari Human Rights Watch menunjukkan lebih dari 700 serangan udara dilakukan junta sejak 2022, menargetkan sekolah, rumah sakit, dan pasar.
Serangan di Shan ini menjadi salah satu yang paling mematikan di tahun 2025.
Analisis: Pesan Kekuasaan dalam Teror
Analis keamanan kawasan Asia Tenggara, Pavin Chachavalpongpun, menilai serangan ini sebagai “pesan politik berdarah.”
“Militer Myanmar ingin menunjukkan bahwa bahkan tempat ibadah pun tidak aman bila berada di bawah pengaruh kelompok oposisi,” ujarnya kepada Al Jazeera.
Pengamat lain dari ISEAS–Yusof Ishak Institute menambahkan, serangan itu juga bertepatan dengan peringatan ke-4 tahun kudeta militer, menandakan bahwa junta sedang mencoba menegaskan kontrol simbolik melalui kekerasan.
Evakuasi dan Krisis Kemanusiaan
Hingga Kamis siang (10/10), Myanmar Rescue Network dan Doctors Without Borders (MSF) melaporkan kesulitan besar menyalurkan bantuan karena blokade militer.
Beberapa korban luka parah tidak dapat dibawa ke rumah sakit karena jalan raya menuju Taunggyi ditutup.
Lebih dari 200 warga sipil kini mengungsi di hutan sekitar lokasi ledakan.
Biara tempat festival diadakan kini rata dengan tanah, sementara bendera putih dipasang warga sebagai tanda duka.
Kesimpulan: Dunia yang Kembali Diam
Serangan udara di festival Buddha ini menjadi simbol dari kegagalan dunia internasional menghentikan kekerasan junta Myanmar.
Meskipun kecaman berdatangan, langkah konkret seperti embargo senjata atau pengadilan internasional belum terwujud.
Bagi warga Shan, malam festival berubah menjadi mimpi buruk — dan sekali lagi, penderitaan rakyat Myanmar berlangsung dalam sunyi yang memekakkan.

