KA Perintis: Transportasi Murah untuk Daerah Terpencil
Jakarta – Di Bireuen, Aceh, deretan bangku besi Stasiun Kutablang tak pernah benar-benar kosong. Tiap pagi, warga menunggu KA Cut Meutia, kereta kecil yang sejak beberapa tahun terakhir menjadi urat nadi transportasi mereka. Dengan tarif hanya Rp2.000, kereta ini membawa pelajar, pedagang, hingga buruh menuju Lhokseumawe.
Kereta semacam ini dikenal sebagai Kereta Api (KA) Perintis. Konsepnya sederhana: mengoperasikan jalur kereta di daerah baru atau lama yang belum layak secara komersial, dengan subsidi penuh dari negara. “Hadirnya KA Perintis meningkatkan konektivitas dan memperkuat ekonomi lokal,” tulis Kementerian Perhubungan dalam keterangan resminya.
Jalur Murah yang Menghubungkan
Hingga kini, ada lima layanan KA Perintis:
- KA Cut Meutia (Aceh) → Kutablang – Muara Satu (Rp2.000).
- KA Lembah Anai (Sumatera Barat) → Bandara Minangkabau – Kayu Tanam (Rp5.000).
- KA Minangkabau Ekspres Rute Perintis → Duku – Lubuk Alung – Kayu Tanam.
- KA Metro Sulawesi (Sulsel) → Palopo – Malili.
- KA Ambarawa – Tuntang (Jateng) → jalur wisata yang tetap masuk skema perintis.
Semua rute ini punya ciri sama: pendek, melayani daerah yang sulit dijangkau angkutan lain, dan tarifnya murah.
Fungsi Ekonomi dan Sosial
Subsidi KA Perintis bukan semata soal transportasi. Di banyak tempat, kehadiran kereta kecil ini menjadi pemicu ekonomi.
Di Lembah Anai, Sumatera Barat, jalur kereta murah dari bandara hingga pedalaman Kayu Tanam membuka akses wisata dan pasar lokal. Di Aceh, KA Cut Meutia mengurangi ketergantungan warga pada angkutan darat mahal.
Seorang pedagang sayur di Lhokseumawe bercerita kepada wartawan lokal, “Kalau naik kereta cuma dua ribu, saya bisa hemat ongkos dan jualan lebih untung.”
Tantangan di Lapangan
Namun, operasional KA Perintis tidak tanpa masalah. Rute yang pendek membuat okupansi kadang rendah. Biaya perawatan lokomotif dan jalur tetap tinggi, sementara tarif tidak mungkin dinaikkan.
Seorang pejabat KAI mengakui bahwa kereta perintis hanya bisa berjalan berkat subsidi. “Tanpa dukungan APBN, layanan ini tak akan bertahan,” ujarnya.
Selain itu, masih ada isu keterhubungan. Banyak stasiun KA Perintis tidak terintegrasi dengan transportasi lain. Penumpang harus mencari kendaraan lanjutan secara mandiri.
Simbol Pemerataan
Meski begitu, keberadaan KA Perintis dilihat sebagai simbol pemerataan pembangunan. Bukan hanya Jakarta atau Jawa yang berhak menikmati layanan kereta, melainkan juga daerah-daerah terpencil yang selama ini terpinggirkan.
Program ini mirip dengan transportasi perintis di sektor udara dan laut, di mana negara hadir untuk mengisi celah yang tidak menguntungkan secara komersial, tapi vital bagi warga.
Kesimpulan
KA Perintis bukan sekadar kereta kecil dengan tiket murah. Ia adalah representasi kehadiran negara di jalur rel, menyambungkan desa dengan kota, menekan ongkos warga, sekaligus membuka jalan bagi pergerakan ekonomi.
Apakah keberadaannya bisa berlanjut di tengah keterbatasan subsidi? Itu pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh konsistensi politik anggaran dan seberapa jauh negara siap menjaga jalur hidup ini.